Kasus Pemerkosaan Anak di Luwu : Kekerasan Media dan Sentimen Negatif Polisi

Foto Ilustrasi kekerasan anak

MAKASAR – Kasus dugaan pemerkosaan tiga anak oleh seorang oknum ASN bernisial S di Luwu Timur, Selawesi Selatan berimbas kekerasan terhadap Pers dan menimbulkan ketidakpercayaan kepada polisi.

S yang dilaporkan mantan istrinya atas dugaan pencabulan terhadap ketiga anaknya di Luwu Timur, Sulawesi Selatan, mengancam akan melaporkan salah satu media dan penulis berita ke pihak kepolisian.

Pelaporan tersebut terkait pemberitaan sebuah media nasional berjudul ‘Tiga Anak Saya Diperkosa, Saya Lapor Polisi. Polisi Hentikan Penyelidikan’. Berita itu viral di semua platform media sosial hingga memicu tagar #Percumalaporpolisi.

Terlapor S melalui kuasa hukumnya, Agus Melas saat dikonfirmasi membenarkan pihak kliennya akan berencana melaporkan pimpinan redaksi media nasional tersebut dan penulis berita yang menurutnya menyudutkan pihak kliennya.

“Insya Allah ada (rencana laporkan) termasuk pencemaran nama baik atas apa yang dirasakan klien kami,” kata Agus Melas, Selasa (12/10).

Menurut Agus, kasus ini sudah lama ditutup oleh pihak kepolisian berdasarkan surat perintah penghentian penyelidikan (SP3) yang dikeluarkan oleh Polres Luwu Timur pada Desember 2019.

Namun, kata dia, kasus ini kembali muncul ke publik hingga viral disebabkan oleh media yang memberitakan kasus ini beberapa waktu lalu.

“Karena kasus ini sudah lama ditutup, tapi dimunculkan lagi. Bahkan, parahnya dikatakan pemerkosaan, padahal dugaan pencabulan,” jelasnya.

Pemberitaan di salah satu media itu, kata Melas, sangat tidak benar sehingga kliennya bersama keluarganya sangat keberatan dengan pemberitaan tersebut.

“Itu (berita) sangat tidak benar, makanya klien dan keluarga kami sangat keberatan. Karena suatu tidak benar adanya. Dasarnya karena proses penghentian itu,” tegasnya.

Agus Melas menilai bahwa tulisan yang ditayangkan media nasional itu bukanlah suatu hasil karya jurnalistik dan menurutnya penulis berita itu juga seakan-akan beropini dalam menuliskan berita tersebut.

“Iya opini yang dimuat di blog pribadi walaupun orang atau masyarakat umum bisa mengakses itu. Walaupun penulisnya seorang jurnalis tapi caranya memviralkan ini dengan melalui akun blog pribadinya. Bukan melalui media cetak,” pungkasnya.

Langkah hukum terkait dugaan pencemaran nama baik oknum ASN Luwu Timur kata Agus Melas akan segera melaporkan ke pihak kepolisian.

AJI Kecam Polisi

Sementara Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia mengecam tindakan Polres Luwu Timur, Sulsel yang melabeli hoaks pada berita soal pemerkosaan tiga anak oleh ayahnya. Laporan tersebut terbit pada Rabu (6/10) dan direspon Polres Luwu Timur pada hari yang sama.

“Mengecam Polres Luwu Timur yang memberikan cap hoaks terhadap berita yang terkonfirmasi,” ujar Ketua AJI Indonesia, Sasmito dalam keterangannya pada Kamis (7/10).

Sasmito mengungkapkan bahwa pelabelan hoaks terhadap berita yang telah terkonfirmasi dapat merusak kepercayaan masyarakat pada produk jurnalistik profesional.

AJI mendesak Polres Luwu Timur untuk segera mencabut cap hoaks terhadap berita tersebut dan meminta maaf secara terbuka. Menurut Sasmito, tindakan Polres Luwu Timur tersebut mengarah pada upaya pembungkaman pers.

“Tindakan memberi cap hoaks secara serampangan terhadap berita merupakan pelecehan yang dapat dikategorikan sebagai kekerasan terhadap jurnalis,” tutur Sasmito.

Berita yang diterbitkan Project Multatuli telah melalui proses investigasi terhadap pihak terkait, termasuk Polres Luwu Timur.

Berita tersebut mengangkat soal Lydia (nama samaran) yang melaporkan suaminya, seorang Aparatur Sipil Negara (ASN), ke Polres Luwu Timur atas dugaan pemerkosaan terhadap ketiga anaknya yang masih berumur di bawah 10 tahun.

Lapor Balik

Sementara itu, S dalam satu keterangan kepada wartawan menyatakan sedang menimbang untuk melaporkan balik.

Ia menilai telah terjadi tindakan pencemaran nama baiknya baik selaku pribadi maupun ASN di lingkup Pemkab Luwu Timur, Sulawesi Selatan.

Sebelumnya, Polres Luwu Timur, Sulawesi Selatan teleh menyetop (SP3) kasus tersebut dengan dalih tak ada bukti cukup untuk memproses pidananya pada 2019 silam.

Namun, desakan agar kasus itu dibuka kembali setelah kasus itu viral dan menjadi isu nasional.

“Laporan balik sementara saya bicarakan dengan kuasa hukum, kita hargai proses hukum yang sementara berjalan. Saya sebagai ASN, tidak mau nama saya hancur,” kata kata S saat dihubungi wartawan, Senin (11/10).

S pun menyatakan akan siap menjalani kembali pemeriksaan kasus tersebut bila polisi kembali membuka penyelidikannya.

“Saya siap diperiksa, saya siap bertanggung jawab dunia sampai akhirat,”

S berharap dengan dibuka kembalinya penyelidikan kasus yang dituduhkan kepada dirinya dapat segera berjalan hingga ada titik terang dari kasus tersebut.

“Saya berharap kasus ini berjalan dengan baik. Yang jelas ini tidak pernah terjadi seperti dilaporkan mantan istri,”katanya.

S mengklaim tuduhan pemerkosaan terhadap ketiga anak kandungnya yang sudah viral itu merupakan fitnah dari R, mantan istrinya.

“Itu bisa saya katakan ya dibuat-buat bagaimana menjatuhkan saya. Mungkin masih ada sisa-sisa dendam yang lalu,” katanya.

S dan R yang sama-sama merupakan PNS sebelumnya memang telah bercerai. S sendiri pada 2020 lalu telah menikah lagi. Kasus dugaan pemerkosaan ini dilaporkan R pada akhir 2019 lalu.

S mengatakan, keluarganya, terutama istrinya sekarang mengalami stres berat akibat tuduhan pemerkosaan ini. Dia sendiri berharap nama baiknya bisa dipulihkan.

“Ini kan proses hukum sudah berjalan. Hanya pihak keluarga saya yang stres berat, istri. kalau saya siap menghadapinya, sabar menghadapinya walaupun ya tetap dalam kondisi ini, stres atau apa tapi nggak begitu ini, dibanding keluarga saya, keluarga baru,” tutur S.

S mengaku siap mengikuti seluruh prosedur jika saja polisi memutuskan kembali membuka kasus yang sudah di-SP3 pada 2020 ini. Karena itu, S telah menunjuk kuasa hukum dalam menghadapi persoalan ini.

Agus Melas, kuasa hukum S, menyebut kliennya sejak awal kasus ini dilaporkan selalu kooperatif hingga kemudian Polres Luwu Timur menyatakan kasus ini di-SP3 karena tidak cukup bukti. Kalau memang kasus ini dibuka kembali, kliennya bakal kooperatif.

Terkait tuduhan pemerkosaan ini, Agus menyebut sejak awal kliennya juga bingung apa masalahnya. Namun, menurutnya kliennya menduga-duga ini terkait dengan perceraian kliennya dengan R, mantan istrinya itu.

“Awalnya dia bingung ini masalah apa. Tapi begitu di breakdown ke belakang, oh mungkin menurut Pak S ini ada unsur sakit hati yang sifatnya terlalu privat dalam hubungan rumah tangga mereka kemarin,” sambungnya.

“Proses perceraiannya Pak S dengan si ibu ini, itu juga prosesnya tidak begitu. Pokoknya ceritanya nggak bagus lah. Terlalu private. Proses perceraiannya itu ada tuduhan selingkuh lah, namun tidak dapat dibuktikan juga. Mungkin saja Pak S menganggap mantan istrinya ini cemburu dengan keadaan Pak S sekarang,” tambahnya.

Agus menambahkan, saat itu ketiga anak ini dalam penguasaan R. Karena itu, dia menyebut bisa saja ketiga anak tersebut diajari atau diarahkan membuat pengakuan-pengakuan.

Sebelumnya, Ketua Divisi Perempuan Anak dan Disabilitas LBH Makassar Resky Pratiwi menyatakan, sejak awal ada banyak kejanggalan dalam penanganan kasus yang di-SP3 pada awal 2020 ini.

Menurut Resky, setelah kasus ini dilaporkan ke Polres Luwu Timur pada 9 Oktober 2019, ibu kandung korban dan korban tidak didampingi pendamping hukum saat dilakukan berita acara pemeriksaan (BAP) untuk penyelidikan.

Resky juga menyebut ada luka lecet atau tanda-tanda kekerasan pada dubur/anus ketiga anak-anak yang diduga menjadi korban, berbeda dengan pernyataan polisi yang menyatakan hasil visum ketiga anak ini baik di Puskesmas Malili maupun di RS Bhayangkara Makassar, tidak ada mengalami luka di dubur dan vagina.

Resky menegaskan, LBH Makassar sebagai pendamping pelapor juga sudah memberikan kepada polisi sejumlah foto dan video terkait luka di alat vital korban yang diduga akibat pemerkosaan.

Selain itu, lanjut Resky, ada hasil laporan psikolog anak yang menerangkan bahwa anak-anak yang menjadi korban bercerita soal kejadian kekerasan seksual yang dialami.

Dalam laporan itu disebutkan bahwa pelaku kekerasan seksual lebih dari 1 orang. Hasil laporan psikolog ini juga telah diserahkan ke Polda Sulsel.

LBH Makassar juga menegaskan, hasil asesmen P2TP2A Luwu Timur yang menjadi salah satu dasar polisi menghentikan kasus ini tidak bisa dijadikan dasar. Belakangan LBH Makassar juga mengecam sikap polisi yang membebankan korban untuk memberikan bukti baru.

Polri, baik Polres Luwu Timur, Polda Sulsel maupun Mabes Polri sejak awal menyatakan bahwa penyelidikan kasus yang dilaporkan pada akhir 2019 ini sudah sesuai prosedur. Tidak ada cukup bukti hingga akhirnya kasus ini di-SP3.

Namun demikian, Polri kemudian merespons desakan publik agar kasus ini dibuka kembali. Bareskrim Polri turun tangan dan menerjunkan tim ke Luwu Timur.

Bukti Baru

Pada kesempatan terpisah, pihak kepolisian telah memberikan sinyal untuk dibukanya kembali penyelidikan kasus dugaan pemerkosaan terhadap ketiga anak di Luwu Timur, Sulawesi Selatan, dengan persyaratan pihak ibu korban menyampaikan bukti-bukti yang baru.

Menurut Divisi Perempuan Anak dan Disabilitas LBH Makassar, Resky Prastiwi menerangkan, bahwa yang diberikan kewenangan untuk mencari dan menggali bukti-bukti dalam perkara ini adalah pihak kepolisian. Sehingga untuk menghadirkan bukti yang baru tidak lagi dibebankan kepada pihak pelapor.

“Soal bukti baru, kami bingung seperti apa, kami sudah mengajukan dokumen-dokumen pendukung, kami sudah mengajukan juga orang-orang untuk diperiksa, saksi ahli untuk diperiksa, untuk ditindaklanjuti oleh Polri terkait kasus ini,” kata Rezky, Minggu (10/10).

Dokumen terkait fakta yang diberikan oleh kuasa hukum korban kepada pihak kepolisian saat berada di Mapolda Sulsel ketika dilakukan gelar perkara pada tahun 2019 lalu, kata Rezky silahkan untuk ditindaklanjuti untuk dapat menghadirkan bukti baru sehingga kasus ini dapat segera dibuka kembali proses penyelidikannya.

“Silahkan yang kami telah diberikan untuk ditindaklanjuti, kami terbuka ketika kasus ini dibuka kembali kami akan bekerjasama untuk pembuktian perkara. Kami akan mendampingi pelapor, bahkan pemeriksaan tambahan terhadap para anak,” ungkapnya.

Rezky menerangkan, bahwa alasan dihentikannya penyelidikan kasus ini, karena pihak penyidik tidak menemukan tanda-tanda adanya kekerasan seksual pada korban berdasarkan hasil visum di dua rumah sakit berbeda.

“Jadi di dalam dua surat visum itu kan meski pun disebutkan tidak ada luka dan tidak ada kelainan. Menurut keterangan ahli kami selaku pendamping bahwa tidak selalu surat visum indikasi kekerasan seksual, tapi tidak berarti kekerasan seksualnya tidak terjadi,” jelasnya.

Apalagi kata Rezky pihaknya juga mempunyai petunjuk bahwa memang ada bekas fisik pada para anak.

“Jadi meskipun nihil yang ada tapi yang penting kita punya petunjuk dulu dan yang utama dalam menggali kasus-kasus kekerasan seksual adalah para anak itu menerangkan bahwa kasus kekerasan seksual itu memang terjadi dari terlapor,” kata Rezky.

“Kita harus berangkat dari pengakuan para anak, kalau anak sudah mengatakan mengalami semestinya proses penyelidikan yang mengikuti,” tambahnya.

Rezky menegaskan, pihaknya akan terus mendampingi kasus kekerasan seksual terhadap ketiga anak di Luwu Timur hingga perkara tersebut tuntas.

“Tentu kami akan mendampingi pelapor hingga kasus ini dibuka, diproses ke tahapan selanjutnya hingga para anak memperoleh keadilan,” pungkasnya.

Tak Percaya Polisi

Tetapi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar sebagai kuasa hukum tiga orang anak dugaan pemerkosaan tidak lagi percaya proses penyelidikan kasus tersebut yang dilakukan oleh Polres Luwu Timur, Sulawesi Selatan.

Hal itu disebabkan karena pihak Polres Luwu Timur tidak dapat menjaga identitas ibu dan para korban hingga tersebar di media sosial.

“Satu hal kenapa kami tidak percaya dengan proses penyelidikan di Polres Luwu Timur. Menjaga identitas korban saja tidak mampu. Faktanya dalam postingan klarifikasi menyebut dalam klarifikasi identitas dari korban,” kata Direktur LBH Makassar, Muhammad Haedir, Minggu (10/10).

Menurut Haedir pihak Polres Luwu Timur bekerja tidak secara profesional dalam menangani perkara kekerasan anak yang seharusnya identitas ibu dan para korban itu rahasiakan.

Namun yang terjadi justru identitas korban tersebar di media sosial melalui klarifikasi pemberitaan yang di posting di akun Instagram Humas Polres Luwu Timur.

“Ditambah fakta-fakta lainnya dengan tidak memproses kasus ini, padahal sudah diberikan fakta-fakta saat berada di Polda Sulsel,” sambungnya.

Prosedur dalam penanganan kasus ini beber Haedir ada beberapa hal yang harus dilakukan oleh penyidik sendiri, seperti hasil visum dan rekam medis para korban di rumah sakit.

“Ini harus diambil polisi sendiri, LBH tidak punya kewenangan untuk melakukan penyelidikan. Yang punya kewenangan adalah kepolisian, bukan juga oleh korban. Harusnya membuka kasusnya dulu baru dilakukan penyelidikan,” jelasnya.

Proses pencarian bukti kasus ini seharusnya dilakukan oleh penyidik. Akan tetapi, korban diberikan beban untuk mencari bukti sendiri.

“Yang punya kewenangan mencari bukti dalam KUHP adalah penyidik. Jadi tidak benar kami akan menyampaikan bukti baru, karena buktinya ada di rumah sakit dan yang punya akses ke sana adalah polisi. Bukan kami, berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh undang-undang,” pungkasnya.

Sementara, Ketua Divisi Perempuan Anak dan Disabilitas LBH Makassar, Resky Prastiwi menerangkan, pihak penyidik juga dalam perkara harusnya memeriksa saksi-saksi yang lainnya.

“Harusnya ada pemeriksaan saksi-saksi, menggali petunjuk lain yang sangat mungkinkan oleh penyidik. Jadi kami dalam perkara ini sewaktu di Polda sudah menyampaikan dokumen petunjuk, itu tinggal di follow-up saja,” kata Rezky.

Meski demikian, apabila kasus ini akan dibuka kembali, kata Rezky pihaknya sebagai kuasa hukum dari para korban akan siap bekerjasama dengan pihak kepolisian.

“Supaya bukti-bukti terhadap perkara ini kuat, kami sangat siap dan meminta untuk dilibatkan secara penuh,” jelasnya. (*)

Awaluddin Awe

Sumber : CNN Indonesia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.