Tanpa Aduan, Penghina Presiden Bisa Dipidana

JAKARTA, kabarpolisi.com – Penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden akan dikenakan proses hukum yang bersifat delik umum, hal itu setelah DPR dan Pemerintah menyepakati pasal tersebut dan merevisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana(KUHP).

Jika di proses dengan Delik Umum artinya, proses hukum dilakukan tanpa perlu ada pengaduan dari korban. Lama hukuman pun bisa dikurangi.

Pimpinan sidang sekaligus Ketua Panitia Kerja RKUHP di DPR, Benny K. Harman, sepakat untuk mengikuti usulan Pemerintah yang ingin menjadikan pasal itu sebagai delik umum.

“OK, kalau gitu ini tetap menjadi delik umum ya,” ujar Benny di Gedung DPR, Jakarta, Senin (5/2). Ia memberi catatan bahwa pasal itu akan dibahas kembali di tingkat Panja RKUHP

Pasal penghinaan presiden diatur dalam Pasal 239 ayat (1) RKUHP. Disebutkan bahwa setiap orang di muka umum menghina presiden dan wapres, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV (Rp500 juta).

Pasal 239 Ayat (2) menyebutkan, tidak merupakan penghinaan jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jelas dilakukan untuk kepentingan umum, demi kebenaran, atau pembelaan diri.

Dilansir dari CNNIndonesia.com, sempat terjadi perdebatan terkait delik dalam pasal tersebut.

Benny, yang juga anggota F-Demokrat di DPR, menilai, pasal itu sebaiknya menjadi delik aduan, bukan delik umum. Sebab, menurutnya, Pemerintah belum menjelaskan secara tegas soal frasa penghinaan dan pembelaan diri dalam pasal tersebut.

Delik aduan itu sendiri berarti setiap orang yang menghina kepala negara harus diadukan terlebih dahulu oleh pihak yang merasa dirugikan atau korban sebelum bisa diproses.

Harkristuti Harkrisnowo, perwakilan ahli tim Pemerintah, menyatakan, delik umum harus diterapkan dalam pasal tersebut karena pasal tentang penghinaan terhadap kepala atau wakil kepala negara sahabat bersifat delik umum.

BACA JUGA  Kepolisian Siapkan Strategi Optimal untuk Ops Lilin 2024 Natal dan Tahun Baru

Ia khawatir akan timbul diskriminasi terhadap kepala negara Indonesia jika tidak setara dengan pasal penghinaan terhadap kepala negara asing.

“Saya merasa kita kok agak diskriminatif ya. Presiden sendiri tidak dihormati, tapi Presiden asing kita sembah-sembah,” cetus Harkristuti.

Menurut Harkristuti, RKUHP tentang penghinaan presiden bukan untuk kepentingan pihak tertentu, melainkan mewakili kepentingan seluruh masyarat Indonesia.

“Dia (kepala negara) ditempatkan dalam posisi oleh rakyat Indonesia. Bukan oleh satu, dua partai, atau sejuta, dua juta orang,” tepisnya.

Sanksi Bisa Dikurangi

Anggota Panja RKUHP Fraksi PPP Arsul Sani mengaku sepakat dengan pemerintah soal delik umum pasal itu. Namun, ia meminta pidana penjara pada pasal itu kurang dari 5 tahun.

Alasannya, pidana pasal penghinaan terhadap Pemerintah dalam RKUHP hanya 3 tahun. Terlebih, posisi kepala negara memang rentan dengan penghinaan dan kritik karena merupakan jabatan publik tertinggi.

Ia khawatir, pidana penjara 5 tahun dalam pasal tersebut berpotensi menimbulkan kesewenang-wenangan dalam penegakan hukum.

“Ancaman pidananya kalau perlu diturunkan,” ujar Arsul.

Ketua Tim Pembahasan RKUHP dari Pemerintah Enny Nurbaningsih menyebut bahwa usulan pengurangan hukuman pasal itu bisa dilakukan.

Pasal tersebut, kata Enny, dapat masuk kategori pidana sedang. Dengan kriteria itu, pidana penjaranya bisa berkisar dua atau tiga tahun penjara.

“Kalau dua tahunan, pemidanaan kita bukan penjara. Kita bisa menerapkan pidana pengawasan. Kalau enam bulan bisa kerja sosial,” tutupnya.(Erik)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.