Jakarta, kabarpolisi.com – Mahkamah Agung menolak memberikan fatwa terkait status jabatan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta.
Ahok kini berstatus terdakwa dalam kasus dugaan penodaan agama.
“MA tidak memberikan fatwa karena sudah ada dua gugatan ke PTUN (Pengadilan Tata Usaha Negara),” kata Wakil Ketua MA Bidang Yudisial Syarifuddin seusai acara sosialisasi Perma 13/2016 di kawasan Sudirman, Selasa (21/2/2017).
Menurut Syarifuddin, jika MA mengeluarkan fatwa, hal itu dikhawatirkan akan mengganggu independensi hakim.
Untuk itu, MA, lanjut dia, mengembalikan putusan status jabatan Ahok kepada Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo.
“Kalau kami beri fatwa seperti kami yang mutus dong, kan pengadilan mesti berjalan. Kalau kami berikan fatwa, itu akan mengganggu independensi hakim,” ujar Syarifuddin.
Pengaktifan kembali Ahok sebagai gubernur usai menjalani cuti kampanye Pilkada 2017 ditentang sejumlah pihak.
Sejumlah organisasi massa mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara dan menuntut Presiden Joko Widodo memberhentikan sementara Ahok.
Sebelumnya, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mengungkapkan bahwa MA tak bisa mengeluarkan fatwa terkait status jabatan Ahok. Tjahjo memahami putusan MA tersebut.
Yang jelas, kata Tjahjo, pihaknya masih pada kebijakan sebelumnya, yakni menunggu tuntutan dari jaksa sebelum memberhentikan sementara Ahok dari jabatannya sebagai Gubernur DKI Jakarta.
Tjahjo siap bertanggung jawab apabila keputusan yang diambilnya salah. (Baca: Mendagri Siap Diberhentikan jika Keputusannya soal Status Ahok Salah)
Tjahjo pun mengaku sudah menyampaikan saran ini kepada Presiden Jokowi. Dia menyerahkan keputusan akhir terkait status Ahok kepada Presiden Joko Widodo.
“Saya juga enggak mau karena keputusan saya menimbulkan kegaduhan ya. Kalau memang ada diskresi ya di tangan Presiden,” kata Tjahjo di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa.
Dakwaan Ahok terdiri dari dua pasal alternatif, yaitu Pasal 156 huruf a KUHP atau Pasal 156 KUHP. Pasal 156 KUHP mengatur ancaman pidana penjara paling lama empat tahun.
Sementara itu, Pasal 156 a KUHP mengatur ancaman pidana paling lama lima tahun. Oleh karena itu, lanjut Tjahjo, pihaknya akan terlebih dahulu menunggu tuntutan jaksa untuk memastikan pasal mana yang akan digunakan. (rizal)