Polisi Bantah Tutup Kasus Surat Gubernur Sumatera Barat, Rico : Masih Lanjut

Bukti surat Gubernur Sumbar yang ditahan polisi sebagai barang bukti. (Foto : kiriman)

PADANG – Kepolisian Resort Kota Besar Padang membantah telah menutup kasus surat Gubernur Sumbar Mahyeldi dan menyebut masih melakukan penyidikan.

“Tidak benar kasus Surat Gubernur Sumbar kita hentikan. Kasusnya masih lanjut. Masih dalam proses pemeriksaan saksi saksi,” kata Kasat Reskrim Polrestabes Kota Padang Kompol Rico Fernanda,SH,MH kepada Kabarpolisi.com, pekan lalu.

Dalam penjelasannya melalui jaringan WhatsApp pribadinya, Rico menyebutkan pihak kepolisian sama sekali tidak pernah menyatakan akan menghentikan kasus Surat Permintaan Sumbangan Gubernur Sumbar Mahyeldi Ansharullah.

Dalam penjelasan sebelumnya seperti dikutip Detik.com, Rico juga menegaskan bahwa pihak kepolisian sampai saat ini masih terus memproses kasus Surat Gubernur Sumbar yang dipakai untuk meminta sumbangan pembuatan buku Profil Sumbar dalam berbagai bahasa.

“Kasusnya masih lanjut. Sampai hari ini kami sudah periksa 14 orang saksi terkait surat Gubernur Sumbar ini,” jelas Kasat Reskrim Polrestabes Padang AKP Rico Fernanda, SH,MH kepada wartawan di Padang, Rabu (15/9).

Publik di Sumbar sempat dikabarkan pesimis kasus Surat Gubernur Sumbar akan terhenti setelah Kapolrestabes Padang menyatakan kasus penipuannya tidak terbukti.

“Kalau penipuan (memang) tidak terbukti sebab tanda tangan dan suratnya asli dari Gubernur.” ujar Rico.

Tetapi yang sedang dikejar pihak Polrestabes Padang saat ini adalah sekaitan dengan kasus korupsi dalam kasus surat tersebut.

“Kalau soal korupsi, itu baru lagi. Kita lihat apakah ada pidana atau tidak. Tergantung (gelar perkara),” ucapnya.

Menurut Rico, dari 14 orang saksi yang telah diperiksa, termasuk Sekdaprof Hansastri dan orang dekat Mahyeldi, Eri Santoso.

Sebaliknya terdapat 21 pihak yang telah dimintakan bantuan oleh kelompok yang mengatasnamakan perusahaan yang akan menerbitkan buku Profil Sumbar tersebut.

Total dana yang sudah terhimpun dari 21 pihak tersebut mencapai Rp170 juta. Mereka yang dimintakan sumbangan ini berasal dari kalangan perguruan tinggi, pengusaha, BUMN dan termasuk rumah sakit.

Rico mengatakan polisi bakal memeriksa pihak-pihak yang ikut menerima surat dan memberikan uang dalam waktu dekat ini.

Kronologis Kasus

Pemeriksaan kasus ini berawal dari surat bernomor 005/3984/V/Bappeda-2021 tertanggal 12 Mei 2021 tentang Penerbitan Profil dan Potensi Provinsi Sumatera Barat.

Surat itu berisi permintaan sumbangan terkait penerbitan buku.

“Sehubungan dengan tingginya kebutuhan informasi terkait dengan pengembangan, potensi, dan peluang investasi di Provinsi Sumatera Barat oleh para pemangku kepentingan, maka akan dilakukan penyebarluasan dan pemenuhan kebutuhan informasi tersebut dengan menerbitkan buku profil ‘Sumatera Barat Provinsi Madani, Unggul dan Berkelanjutan’ dalam versi bahasa Indonesia, bahasa Inggris, serta bahasa Arab serta dalam bentuk soft copy,” demikian tertulis dalam surat tersebut seperti dilihat detikcom.

BACA JUGA  Sekda Jateng Minta Tim Saber Pungli Kawal Penyelenggaraan Pemerintahan yang Bersih

“Diharapkan kesediaan Saudara untuk dapat berpartisipasi dan kontribusi dalam mensponsori penyusunan dan penerbitan buku tersebut,” lanjut surat yang juga dibubuhi stempel resmi Gubernur Sumbar.

Polisi sebenarnya sempat mengamankan lima orang yang membawa surat permintaan sumbangan ini karena diduga melakukan penipuan. Namun belakangan, surat ini ternyata asli. Polisi mengungkap ada duit Rp 170 juta yang telah terkumpul dan masuk ke rekening pribadi, namun tak menyebut rekening siapa.

Polisi terus menyelidiki kasus surat sumbangan yang terdapat tanda tangan Gubernur Sumatera Barat (Sumbar) Mahyeldi untuk penerbitan buku.

Polisi mengamankan surat tersebut lebih dari tiga dus yang belum disebar. Surat minta sumbangan yang diteken Gubernur Sumbar

Mahyeldi juga telah buka suara soal surat permintaan sumbangan ini. Dia menyerahkan penjelasan soal surat tersebut kepada Sekda.
“Itu kan administrasi ya, administrasi di Sekda, Sekretaris,” ucap Mahyeldi saat ditemui setelah melayat ke rumah duka Elly Kasim di Pulogadung, Jakarta Timur, Rabu (25/8).

Grafitikasi dan Korupsi

Pakar Hukum Pidana dari Universitas Andalas Prof Elwi Danil sebelumnya menyebut bahwa surat Gubernur Sumbar Mahyeldi untuk pembiayaan penerbitan buku profil Sumbar, bersifat memaksa dan itu yang menjadikannya sebagai perbuatan korupsi.

“Tentu saja ini punya implikasi hukum tentang korupsi. Dalam hukum tindak pidana, ini sering disebut sebagai permintaan memaksa oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara,” kata Elwi Danil kepada wartawan, Senin (23/8/2021) di Padang.

Menurut Elwi Danil, tindak pidana korupsi dalam bentuk permintaan memaksa ini dijelaskan dalam Pasal 12 huruf e UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dia menilai surat tersebut termasuk paksaan.

“Keterpaksaan yang dimaksud dalam pasal ini bukan berupa memaksa secara fisik, tapi adalah keterpaduan psikis. Dalam KUHP asli dikenal dengan sebutan ‘knavelarji’ dan tadinya diatur dalam pasal 423 KUHP yang kemudian diambil alih pengaturannya oleh UU Korupsi, sehingga menjadi terkategori sebagai tindak pidana korupsi,” jelas Elwi.

“Tanpa bermaksud mendahului proses yang dilakukan polisi, saya melihat, ketentuan dalam pasal 12 huruf e itu seyogianya bisa diarahkan,” sambungnya.

Berikut ini bunyi pasal 12 huruf e:

Pasal 12

Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000 dan paling banyak Rp 1.000.000.000

BACA JUGA  Kepolisian Siapkan Strategi Optimal untuk Ops Lilin 2024 Natal dan Tahun Baru

e. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri.

Dia mengatakan si pemberi bantuan harus terbukti memberi terpaksa secara psikis memenuhi keinginan atau permintaan sesuai dengan surat yang ditandatangani Gubernur Sumbar. Dia menilai ada unsur paksaan dalam surat itu meski disebut sebagai permintaan sumbangan.

“Walaupun modusnya minta bantuan, namun ada unsur keterpaksaan di sana. Karena ditandatangani Gubernur, maka berat bagi pihak yang menjadi alamat surat pengajuan untuk menolak. Sudah cukup apabila si pemberi bantuan mengatakan bahwa dia menjadi tidak enak dengan Gubernur kalau tidak ikut membantu,” katanya.

Jika pemberi bantuan tak mengaku terpaksa, katanya, si pemberi bisa dinilai sebagai pihak yang memberi gratifikasi. Menurutnya, hal itu diatur dalam Pasal 13 UU Tipikor. Berikut ini bunyi pasal 13:

Setiap orang yang memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap, melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun dan atau denda paling banyak Rp 150.000.000

“Tak elok seorang Gubernur membuat surat seperti itu, apalagi surat di luar kedinasan untuk membantu satu pihak. Kekeliruannya di sana,” tutur Elwi.

Surat Permintaan Sumbangan Diteken Gubernur Sumbar
Surat yang menjadi polemik itu bernomor 005/3984/V/Bappeda-2021 tertanggal 12 Mei 2021 tentang Penerbitan Profil dan Potensi Provinsi Sumatera Barat.

“Sehubungan dengan tingginya kebutuhan informasi terkait dengan pengembangan, potensi dan peluang investasi di Provinsi Sumatera Barat oleh para pemangku kepentingan, maka akan dilakukan penyebarluasan dan pemenuhan kebutuhan informasi tersebut dengan menerbitkan buku Profil ‘Sumatera Barat Provinsi Madani, Unggul dan Berkelanjutan’ dalam versi Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris serta Bahasa Arab serta dalam bentuk softcopy,” demikian tertulis dalam surat tersebut seperti dirilis detikcom.

“Diharapkan kesediaan Saudara untuk dapat berpartisipasi dan kontribusi dalam mensponsori penyusunan dan penerbitan buku tersebut,” lanjut surat yang juga dibubuhi stempel resmi Gubernur Sumbar.

Polisi sebenarnya sempat mengamankan lima orang yang membawa surat ini karena diduga melakukan penipuan. Namun belakangan, surat ini ternyata asli. Polisi mengungkap ada duit Rp 170 juta yang telah terkumpul dan masuk ke rekening pribadi, namun tak menyebut rekening siapa.

BACA JUGA  Sekda Jateng Minta Tim Saber Pungli Kawal Penyelenggaraan Pemerintahan yang Bersih

“Uang dikirim ke rekening pribadi. Itu yang menimbulkan kecurigaan, sehingga ada pihak yang melaporkan kepada kami. Lagi pula mereka membawa surat berlogo Gubernur, tapi bukan ASN atau tenaga honorer di pemda. Berbekal surat itulah mereka mendatangi para pengusaha, kampus dan pihak-pihak lainnya untuk mencari uang,” kata Kasat Reskrim Polresta Padang Kompol Rico Fernanda kepada wartawan, Jumat (20/8).

PKS Buka Suara

PKS telah buka suara soal surat dari kadernya itu. PKS mengaku tak menyiapkan pembelaan, karena sedang fokus pada program penanganan dampak COVID-19.

“Dalam satu bulan ini PKS Sumbar sedang fokus melaksanakan program kegiatan partai yang menjadi gerakan nasional, yakni gerakan pembagian 1 Juta masker dan pembagian 1,7 juta sembako untuk keluarga masyarakat terpapar COVID-19,” kata Sekretaris DPW PKS Sumbar, Rahmat Saleh, kepada wartawan, Senin (23/8).

Mahyeldi sendiri merupakan Ketua PKS Sumbar. Rahmat mengatakan PKS tak punya waktu merespons isu yang menurutnya dialamatkan kepada Mahyeldi.

“Energi dan pikiran kami di DPW PKS Sumbar tersita untuk menyukseskan 2 agenda gerakan sosial tersebut, dan tidak terlalu respons terhadap isu yang dialamatkan kepada Pak Gubernur Sumbar,” tutur Rahmat.

Pengajuan Hak Angket

Polemik surat minta sumbangan yang diteken Mahyeldi tak berhenti usai sang Gubernur buka suara. 33 anggota DPRD yang menilai ada pelanggaran terkait surat ini mengajukan penggunaan hak angket terhadap Mahyeldi.

Usulan penggunaan hak angket itu disampaikan 33 dari 65 orang anggota DPRD Sumbar. Mereka terdiri dari tiga fraksi dan satu partai, yakni Fraksi Demokrat, Fraksi Gerindra, Fraksi PDIP-PKB dan partai NasDem. Rekan NasDem di Fraksi PPP-NasDem belum menentukan sikap.

Anggota DPRD Sumbar dari Demokrat, Nurnas, mengatakan pengajuan hak angket merupakan bagian dari pengawasan DPRD terhadap Pemprov Sumbar. Para pengusul berharap dukungan penuh dari DPRD hak angket bisa digunakan.

“Kami tadi secara resmi telah mengusulkan agar diagendakan penggunaan hak angket. Tentu kita berharap dukungan penuh dari DPRD agar ini bisa jadi keputusan bersama,” kata dia, Selasa (14/9).

“Kita berkewajiban untuk melakukan pengawasan atas jalannya pemerintahan. Kita ingin adanya keamanan dan kenyamanan atas jalannya pemerintahan,” sambungnya.

Tetapi kabar terakhir yang diperoleh Kabarpolisi.com, pengajuan hak angket surat gubernur Sumbar kabarnya sudah masuk angin.

Benar atau tidaknya, sedang ditelusuri kebenarannya oleh wartawan Kabarpolisi.com. (*)

Awaluddin Awe

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.