Hendardi
JAKARTA, kabarpolisi.com – Putusan Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara yang menjatuhkan vonis dua tahun penjara untuk Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, dinilai tidak lazim oleh Ketua Stara Institut Hendardi. Dia menjelaskan, Majelis hakim juga menerapkan standar ganda dan bekerja di bawah tekanan massa.
“Sebagai sebuah mekanisme demokrasi, putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara haruslah dihormati. Akan tetapi harus pula diakui bahwa majelis hakim bekerja di bawah tekanan gelombang massa yang sejak awal memberikan tekanan dan mendesak pemenjaraan Basuki,” ujar Hendardi dalam keterangan pers, Selasa (9/5/2017) di Jakarta.
Menurut Hendardi, vonis itu mempertegas bahwa delik penodaan agama rentan digunakan sebagai alat penundukkan bagi siapapun dan untuk kepentingan apapun. Bahkan, tambahnya, dari 97 kasus yang pernah terjadi, 89 kasus di antaranya terjadi pasca 1998.
“Di sinilah bahaya dari ketentuan yang bias dan multitafsir dari Pasal 156a KUHP,” tambahnya.
Lebih lanjut Hendardi menilai vonis terhadap Basuki di luar kelaziman, karena hakim memutus melampaui apa yang menjadi tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU).
Sebagaimana diketahui, dalam sidang pembacaan tuntutan sebelumnya JPU gagal membuktikan dakwaan primer Pasal 156a, sehingga JPU hanya menuntut Basuki dengan Pasal 156 KUHP.
Meskipun tidak lazim, Hendardi mengatakan bahwa secara prinsip memang hakim independen dan merdeka dalam memutus perkara, sepanjang tidak keluar dari delik dan dakwaan yang termaktub dalam UU.
Namun demikian, lanjutnya, kemerdekaan hakim semestinya haruslah sejalan dan bertolak dari fakta-fakta persidangan.
“Kualitas peristiwa hukum yang menimpa Basuki dan pembuktian yang lemah sepanjang masa sidang, semestinya mampu meyakinkan hakim untuk membebaskan Basuki atau setidaknya memvonis dengan hukuman yang tidak melampaui tuntutan JPU,” katanya.
Sementara itu, terkait konsideran putusan atas Ahok, Hendardi menilai bahwa hakim menerapkan standar ganda dalam mempertimbangkan konteks peristiwa hukum itu. Di satu sisi, hakim mempertimbangkan situasi ketertiban sosial yang diakibatkan oleh ucapan Ahok, tapi di sisi lain, hakim a historis dengan peristiwa yang melatarbelakangi pernyataan itu dan pelaporannya oleh kelompok masyarakat.
Hendardi bahkan melihat betapa politisasi identitas dan peristiwa hukum itu dijadikan alat penundukkan yang efektif untuk memenangi sebuah kontestasi (politik). Ketidakseimbangan dalam memperlakukan aspek-aspek non hukum inilah yang, menurut Hendardi, membuat putusan PN Jakarta Utara mempertegas adanya trial by mob.
“Kerumunan massa menjadi sumber legitimasi tindakan aparat penegak hukum. Majelis hakim memilih jalan pengutamaan koeksistensi sosial yang absurd dibanding melimpahkan jalan keadilan bagi warga negara, seperti Basuki,” tegas Hendardi.
“Trial by mob sudah dipastikan bertentangan dengan ‘rule of law’ dan membahayakan demokrasi dan negara hukum kita, karena sumber legitimasi telah bergeser dari kedaulatan rakyat yang dijalankan berdasarkan UUD menjadi kedaulatan kerumunan meski harus mengingkari prinsip-prinsip negara hukum,” tambahnya.
Menurut catatan Hendardi, due process of law dalam penegakan Pasal 156a tidak pernah dilakukan, padahal genus Pasal 156a adalah UU No. 1/PNPS/1965 yang menuntut adanya peringatan dan proses-proses non yudisial sebelum seseorang diproses secara hukum.
“Trial by mob telah mengikis kepercayaan diri hakim untuk menghayati asas in dubio pro reo dalam memutuskan kasus Basuki. Asas ini memandu hakim, jika ada keragu-raguan mengenai suatu hal, maka haruslah diputuskan berdasarkan pertimbangan yang paling menguntungkan terdakwa. Lebih baik membebaskan 1000 orang yang bersalah daripada menghukum 1 orang yang tidak bersalah,” pungkas Hendardi. (cecep)