Tito Karnavian (Foto Detikcom)
JAKARTA, kabarpolisi.com – Polisi harus belajar politik meski bukan berarti ikut berpolitik praktis. Tahu politik berguna saat polisi menangani berbagai masalah, termasuk demo.
Hal tersebut diungkapkan Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian
dalam acara silahturahmi dan dialog dengan kelompok Cipayung Plus di Jalan Pattimura, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Rabu (7/6/2017).
“Saya baru sebelas bulan jadi Kapolri. Kemudian dihadapkan banyak permasalahan-permasalahan. Kami prajurit bhayangkara. Jadi wajar polisi tidak ada yang masuk ke politik,” kata mantan Kapolda Metro Jaya itu.
Alumnus terbaik Akpol 1987 itu menyebut di Polri tidak pernah diajarkan soal politik. Sedikit pembahasan soal politik baru dibahas saat perwira mengikuti Sespim dan Sespati.
“Repotnya begitu jadi kapolri tadinya kita murni jadi polisi yang profesional, nangkep maling, teroris, dan lain-lain. Saya pun tidak pernah belajar politik, di Akpol tidak diajarin politik,” kata jenderal kelahiran Palembang ini.
Dia menambahkan, “Saya kemudian belajar sendiri. Belajar politik. Jadi begitu jadi kapolri, saya lihat saya sudah berada di lingkungan politik. Berbicaranya sudah para menteri, parpol, kepala lembaga petinggi negara. Saya masih buta.”
Di dunia politik, Tito mengaku masih sangat ‘kecil’. Sehingga masih terus harus belajar mengenai politik. Untuk itu, jenderal bintang empat tersebut mengaku memperluas jaringan untuk mengenali soal peta politik Indonesia. Termasuk mengadakan silahturahmi dengan para tokoh Cipayung Plus.
“Saya ingin membangun jaringan. Bukan untuk berpolitik, tapi bagaimana saya melihat bahwa, kita harus belajar sosial politik. Terutama politik. Kalau ilmu sosial polisi sudah belajar. Belajar politik pasti juga harus tahu politik praktis,” kata Kapolri.
Meski begitu, Tito memastikan tak ada personel Polri yang melakukan politik praktis. Namun memahami peta politik menjadi salah satu modal untuk bisa melaksanakan tugas dan kewajiban Polri.
“Berusaha memahami peta politik. Karena kalau nggak, begitu demo kita yang didikte sama yang demo. Kalau sekarang sudah banyak kenal temen HMI, PMII, PMKRI, begitu demo-demo dikit, kita bisa tanya. Siapa sih di belakangnya?”
“Kalau dulu nggak. Sebagai polisi murni, begitu ada demo, eh Shabara maju ke depan. Besok siapkan pasukan. Tapi kalau tahu peta politik. Begitu kumpul. Siapa yang main itu? Si anu katanya misalkan. Caranya pokoknya siapa yang gerakin? Si anu. Yang bayar siapa? Si anu,” tambahnya beranalogi.
Dengan mengetahui peta politik, menurut Tito polisi semakin mudah dalam melakukan pengamanan. Kemudian juga bisa memperhitungkan untung-rugi saat meninjau atau menganalisis suatu masalah.
“Sekarang kita itu memahami petanya, apa maksud dan tujuannya lain-lain, sehingga anggota yang di-setting juga nanti dia harus tahu, bertindaknya sampai sejauh ini saja,” sebut Tito.
“Dan yang lebih mantep lagi, kita bisa bisik-bisik juga, ‘bikin heboh dong tapi dukung pemerintah dukung polisi juga ya, untuk keamanan dan persatuan kesatuan bangsa’, karena kita nggak berpolitik polisi (dewi)