Aksi 212 Monas, Pengamat : Arahnya ke 2019

Dewinta Pringgodani

JAKARTA, kabarpolisi.com – Pengamat politik, hukum dan keamanan Rr Dewinta Pringgodani SH MH mengatakan, aksi Reuni Alumni 212 di Monas Sabtu kemarin, adalah gerakan politik, yang tentu saja mengarah kepada Pilpres 2019.

Seperti diberitakan, puluhan ribu massa “alumni” 212 memadati Monas, Sabtu (2/12/2017). Ada banyak ormas bergabung dalam aksi tersebut. Ironisnya, simbol yang mirip digunakan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) – ormas yang telah diburbarkan pemerintah – juga muncul dalam aksi tersebut.

“Aksi tersebut juga menjadi ajang konsolidasi kelompok-kelompok yang terhalang eksistensi legalnya terkait Perppu No 2 2017 tentang Ormas,” ujar Dewinta Pringgodani, Minggu di Jakarta.

Menurutnya, simbol-simbol yang mirip digunakan oleh Ormas HTI muncul dengan bebas pada aksi reuni di Monas ini. Tokoh-tokoh yang hadir pada acara tersebut sebagian besar mewakili kelompok oposisi pemerintah, bahkan anggota DPR yang tampak hadir juga merupakan anggota partai politik yang menjadi oposisi dari pemerintah.

Sambutan dan pernyataan yang muncul dalam aksi tersebut juga menunjukkan sikap yang bersebrangan dengan pemerintah bahkan terhadap konstitusi. Hal ini dibuktikan dengan adanya ajakan dari Habib Rizieq Shihab untuk mewujudkan NKRI Syariah dan kembali ke UUD 45 yang asli. Pesan-pesan untuk menuju bentuk khilafah juga tertera jelas pada spanduk-spanduk yang dibawa oleh peserta.

“Acara di Monas konsolidasi kelompok yang menggunakan platform agama dan mereka kelompok yang berseberangan dengan pemerintah. Upaya ini dilakukan untuk menciptakan opini publik bahwa pemerintah saat ini termasuk Joko Widodo sebagai Presiden, berseberangan dengan umat agama tertentu,” kata wanita kelahiran Solo ini.

Dewi meminta Pemerintah mencermati, waspada dengan kegiatan ini. Aksi massa ini jelas merupakan arena konsolidasi menuju 2019. Ini gerakan politik yang digerakkan kelompok politik tertentu dengan menggunakan isu agama,” kata Dewi.

“Konggres Nasional Almuni 212 yang dilakukan untuk mengawali acara reuni 212, melakukan kritik yang sangat keras kepada pemerintah,” katanya.

“Hal seperti ini akan terus terjadi dan dilakukan berulang-ulang dengan aneka momentum yang diciptakan untuk melemahkan pemerintah dan Joko Widodo,” Dewi menambahkan.

Tentang Amien Rais sebagai salah satu pembicara dalam acara tersebut juga menuduh Joko Widodo melakukan politik memecah belah, dan menyebut kata-kata dajjal politik, dajjal ekonomi, dan dajjal intel yang berkonotasi negatif terhadap pemerintah.

“Pernyataan-pernyataan yang negatif dan tendesius ini tidak pantas diucapkan apalagi tanpa adanya bukti yang kuat. Amien Rais terlihat ingin menunjukkan diri dan eksis sebagai pemimpin kelompok 212 pasca Habib Rizieq Sihab tidak di Indonesia lagi. Saya meragukan kenegarawanan Pak Amien,” ujar Dewi.

Dewi mengingatkan, harus ada upaya dari kelompok nasionalis dan moderat untuk menunjukkan eksistensinya sebagai kelompok yang lebih sesuai dan diterima untuk seluruh masyarakat sekaligus menjaga Indonesia tetap pada koridor NKRI, Pancasila, UUD 1945 dan Bhineka Tunggal Ika.

Menurutnya, kelompok nasional dan moderat tidak melakukan aksi apapun untuk melawan ujaran-ujaran dan doktrin yang dilakukan oleh kelompok 212, maka apa yang dinyatakan oleh kelompok tersebut secara berulang-ulang dalam banyak momen bisa terpatri dalam benak banyak orang sekaligus menjadi media untuk membenarkan asumsi kelompok 212.

“Negara tidak boleh tinggal diam. Penegakan hukum terhadap ormas yang sudah dinyatakan dilarang harus dilakukan. Aksi-aksi yang mengarah kepada gangguan terhadap NKRI, Pancasila, UUD 1945 dan Bhineka Tunggal Ika harus dicegah. Kelompok nasionalis dan moderat harus dikuatkan sebagai wadah yang tepat bagi masyarakat untuk lebih mencintai negaranya sekaligus tetap taqwa terhadap agamanya,” tegas Dewinta Pringgodani.

Donny Magek Piliang

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.