Batal, Rencana Tarawih Akbar Pemprov DKI di Monas

JAKARTA, kabarpolisi.com – Pemprov DKI Jakarta akhirnya menyerah. Rencana yang sudah disusun sejak pekan lalu untuk menggelar Tarawih Akbar di kawasan Monumen Nasional atau Monas pada Sabtu 26 Mei 2018 Pukul 20.00 WIB akhirnya dibatalkan. Derasnya kritikan dan penolakan membuat Pemprov DKI mengalihkan lokasinya.

“Kita mendengar yang disampaikan para ulama, kita dalam urusan ibadah ya merujuk pada para ulama. Karena itu kemudian rencana salat tarawih akan tetap diadakan pada 26 Mei dan insyaallah di Masjid Istiqlal,” kata Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan di Balai Kota Jakarta, Senin (21/5/2018) petang.

Dia kembali menegaskan bahwa Pemprov DKI akan taat pada ulama bila terkait dengan kegiatan ibadah.

“Jadi kita taat pada apa yang menjadi pandangan para ulama, apalagi menyangkut urusan ibadah. Ini bukan urusan lain, kalau urusan ibadah kita ikut pada pedoman yang digariskan ulama,” tegas Anies.

Selain karena pandangan ulama, ada pertimbangan lain mengapa kawasan Monas batal menjadi tempat salat, salah satunya terkait keamanan.

“Ada juga catatan mengenai keamanan dan lain lain, memang lebih baik kita selenggarakan di masjid,” ungkap mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan itu.

Apa yang diucapkan Anies mempertegas apa yang sebelumnya sudah disampaikan Wakil Gubernur DKI Jakarta Sandiaga Uno, beberapa saat sebelumnya.

“Akhirnya, setelah kita pertimbangkan, kita akan ikuti saran dari ulama. Kita lagi coba berkoordinasi dengan Masjid Istiqlal apakah bisa melakukan suatu koordinasi supaya kita puasa dan tarawihnya bisa dilakukan di Masjid Istiqlal,” jelas Sandiaga di gedung Indosat, Senin siang.

Dia juga mengatakan, keputusan untuk membatalkan acara di Monas itu diambil setelah dirinya berkoordinasi dengan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan membicarakan imbauan ulama yang mendesak agar Pemprov DKI membatalkan salat tarawih di Monas.

“Jadi tadi kita sudah meng-update Pak Gubernur yang menyampaikan tentunya kita harus mengikuti apa yang diinginkan oleh para ulama. Tadi sudah kita koordinasikan juga dengan teman-teman di NU, Muhammadiyah, dan MUI,” ujar Sandiaga.

Politikus Partai Gerindra ini mengatakan, pihaknya memutuskan untuk membatalkan Monas sebagai lokasi Tarawih Akbar karena masalah tersebut sudah menjadi perhatian para ulama dan sudah masuk ke ranah fikih.

“Para ulama sudah menyampaikan bahwa lebih banyak manfaat untuk salat di masjid dan lebih banyak mudaratnya untuk salat di lapangan terbuka seperti itu (Monas). Jadi itu yang kami akhirnya putuskan bahwa kita akan berusaha berkoordinasi dengan Masjid Istiqlal untuk memindahkan,” tegas Sandiaga.

Namun begitu, dia menegaskan bahwa niat awal untuk menggelar Tarawih Akbar berangkat dari keinginan banyak pihak yang meminta Pemprov DKI memfasilitasi cara tarawih yang bisa mewujudkan kebersamaan serta bisa mempersatukan umat.

“Ide itu tentunya masuk dari berbagai sumber ke kita. Juga datang dari beberapa ustaz yang kita temui. Dan yang menarik adalah karena ada sebagian yang menyatakan bahwa ada satu kebersamaan tersendiri kalau di Monas, sangat mempersatukan,” tegas Sandiaga.

Hanya saja, alasan itu pula yang membuat Pemprov DKI menjadi sasaran kritik kalangan ulama, bahkan dari Majelis Ulama Indonesia atau MUI. Sebab, alasan salat tarawih di Monas untuk mempersatukan umat Islam dianggap bias.

“Yang mau disatukan dengan salat tarawih itu komponen yang mana? Dan yang tak satu yang mana? Kalau soal jumlah rakaat yang berbeda sudah dipahami dengan baik oleh masjid-masjid bahwa yang 8 atau yang 20 bisa salat bareng berjemaah, hanya yang 20 kemudian meneruskan,” ujar Ketua Komisi Dakwah MUI Cholil Nafis kepada Liputan6.com, Senin siang.

Apalagi, lanjut dia, jika memang niatnya untuk mempersatukan, ada tempat yang lebih representatif dan selama ini telah menjadi simbol kebanggaan serta pemersatu umat Islam di Indonesia.

“Saya kok ragu ya kalau alasannya tarawih di Monas untuk persatuan. Logikanya apa? Bukankah Masjid Istiqlal yang megah itu simbol kemerdekaan, kesatuan dan ketakwaan. Sebab, sebaik-baik salat itu di masjid, karena memang tempat sujud. Bahkan, Nabi Muhammad SAW selama Ramadan itu itikaf di masjid, bukan di lapangan,” ujar Staf Pengajar Ekonomi dan Keuangan Syariah Pascasarjana Universitas Indonesia itu.

Infografis pro-kontra tarawih di Monas (Liputan6.com/Triyasni)
Infografis pro-kontra tarawih di Monas (Liputan6.com/Triyasni)
Dia menambahkan, bukan tak mungkin dengan menggelar salat tarawih yang mengumpulkan massa dalam jumlah cukup besar akan memunculkan anggapan bahwa acara itu tak lebih sebagai ajang pamer, padahal tujuan sebenarnya adalah untuk syiar.

“Marilah yang sehat menggunakan logika kebangsaan dan keagamaan. Jangan menggunakan ibadah mahdhah sebagai alat komunikasi yang memunculkan riya alias pamer. Salat Id saja yang untuk syiar masih lebih baik di masjid kalau bisa menampungnya. Meskipun ulama ada yang mengajurkan di lapangan karena syiar, tapi masjid masih lebih utama,” tegas pria yang karib disapa Kiai Cholil itu.

Dia menambahkan, salat tarawih itu menurut sebagian ulama ditempatkan sebagai salat malam, karena itu lebih baik sembunyi atau dilakukan di masjid.

“Makanya Nabi (Muhammad) SAW hanya beberapa kali salat tarawih bersama sahabatnya di masjid,” tutur pria kelahiran Sampang, Madura, Jawa Timur, 43 tahun lalu itu.

“Ayolah, agama ditempatkan pada relnya, jangan dibelokkan. Pemprov DKI lebih baik konsentrasi pada masalah pokok pemerintahannya, yaitu mengatasi banjir dan macet yang tak ketulungan dan merugikan rakyat,” pungkas Cholil.

Lantas, siapa sebenarnya yang mengusulkan Tarawih Akbar tersebut kepada Anies-Sandiaga? ***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.