SURABAYA, kabarpolisi.com – Radikalisme dan terorisme bisa tumbuh subur di tengah media yang mengembangkan berita-berita hoax (berita bohong) dan propaganda. Sebab, berita yang tidak jelas sumbernya itu menjadi media yang paling ampuh untuk menyebarkan paham-paham radikalisme.
Ketua Dewan Pers Yosep Stanley Adi Prasetyo mengatakan bahwa menyebarnya berita hoax tidak bisa dilepaskan dari kehadiran media-media tak terverifikasi yang kini menjamur di tanah air. Kehadiran media-media yang tak jelas alamat dan struktur organisasinya itu dengan mudah menyebarkan informasi yang belum terverifikasi kebenarannya.
“Indonesia adalah salah satu negara dengan jumlah media terbanyak di dunia. Ada sekitar 47.000 media yang ada di sini, dimana 43.000-nya adalah media online. Repotnya media-media itu, mayoritas yang online, tidak berbadan hukum,” ujarnya dalam diskusi yang dihadiri Forum Koordinasi Pemberantasan Terorisme (FKPT) Jatim dengan redaksi Radar Surabaya di Kantor Harian Radar Surabaya, Jalan Kembang Jepun 167-169 Surabaya, Rabu (18/10).
Inilah yang diakui dia menyulitkan Dewan Pers untuk melakukan pengawasan. Media yang berdiri tanpa alamat yang jelas dan tak ada penanggung jawabnya itu justru menjadi penyebar berita-berita hoax.
Apalagi, media itu kemudian dengan mudahnya memungut informasi dari media sosial untuk materi pemberitaan. Bahkan di Amerika sendiri, menurut dia, pemberitaan media massa 50 persen juga mengambil berita-berita hoax yang mengkhawatirkan. Kehadiran media abal-abal inilah yang sering dipakai untuk menyebarkan paham radikalisme dan terorisme.
Ia mengakui Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999 adalah peraturan yang dibuat sangat istimewa. Karena tidak seperti undang-undang lain seperti UU Penyiaran yang memiliki aturan turunan seperti PP bahkan permen, UU No 40/1999 tidak ada juklaknya. Bahkan DPR pun tidak ingin mengintervensi undang-undang ini.
“Begitu bebasnya, inilah yang sering menyebabkan pers hadir tanpa kontrol dengan kebebasannya yang dilindungi undang-undang,” ujarnya.
Tak mau kecolongan dengan kehadiran media abal-abal sekaligus menjaga fungsi pers sebagai watchdog atau pengawas kehidupan sosial dan politik, maka Dewan Pers memberlakukan sertifikasi perusahaan pers dan uji kompetensi wartawan.
Dikutip dari Jawa Pos, selain itu bersama FKPT, Dewan Pers menyusun pedoman peliputan terorisme. Pedoman ini antara lain menyusun tentang tata cara peliputan berita terorisme seperti tidak boleh live, dan wartawan tidak boleh cari-cari narasumber sehingga tidak ada stigmatisasi, dan harus berimbang.
Ketua FKPT Jatim Kombes Pol Shobar Isman mengatakan bahwa kunjungan lembaganya sebagai kepanjangan tangan dari Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) ke media-media merupakan program dari BNPT untuk mencegah radikalisme dan terorisme yang sewaktu-waktu dapat mengancam NKRI. “Makanya, kami menggandeng media yang ada di Jawa Timur untuk memerangi berita-berita hoax,” terangnya.
Shobar mengatakan bahwa dengan menggandeng media, dirinya ingin memerangi hoax yang saat ini banyak tersebar melalui media sosial. Perwira dengan melati tiga di pundak ini mengatakan bahwa radikalisme dan terorisme berangkat dari sudut pandang yang salah.
Sehingga dengan menggandeng media massa, ia berharap bisa memberikan pemahaman yang benar untuk mengantisipasi paham radikalisme dan terorisme. “Kami berusaha untuk mengantisipasi ini semua agar tidak terjadi aksi terorisme yang membuat warga ketakutan,” katanya.
Selain itu, ia berharap tidak ada lagi kesalahan dalam pembuatan berita terkait terorisme. “Setidaknya yang kerap melakukan kesalahan ini pertama adalah televisi, baru online, dan media cetak. Ini yang harus diantisipasi agar tidak salah dalam peliputan teroris. Terutama yang sering men-judge dan mewawancarai keluarga atau lingkungan pelaku teroris yang berujung pada stigmatisasi,” beber Shobar.
Shobar menjelaskan bahwa FKPT mengemban tugas untuk mengantisipasi berbagai hal negatif terkait ideologi, radikalisme dan terorisme di masyarakat. FKPT dituntut berperan aktif untuk menggandeng berbagai elemen masyarakat untuk menggaungkan semangat perdamaian dan anti radikalisme-terorisme.
Secara konkret, FKPT melakukan berbagai kegiatan dan sosialisasi yang menggandeng beragam elemen masyarakat tentang pentingnya kewaspadaan untuk membendung berkembangnya paham terorisme. Ini penting karena masyarakatlah yang memiliki peran strategis memutus mata rantai dan berkembangnya paham radikal terorisme di Indonesia. Untuk itu, pagi ini di hotel Utami di kawasan Juanda, Sidoarjo, FKPT bersama Dewan Pers menggelar forum group discussion (FGD) tentang pemberantasan paham radikalisme-terorisme.
Hasan Azhari