JAKARTA – Tim hukum Bareskrim Polri menjawab dalil permohonan yang diajukan pihak
Napoleon Bonaparte dalam sidang lanjutan gugatan praperadilan yang berlangsung di
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (29/9).
Pada sidang ini, Tim hukum Bareskrim Polri mengatakan bahwa Napoleon yang saat itu
menjabat sebagai Kadiv Hubinter Polri telah menyetujui kesepakatan senilai Rp7
miliar untuk menghapus red notice Djoko Tjandra pada 13 April 2020.
Mereka melanjutkan, kesepakatan itu terjadi antara Napoleon Bonaparte dan Tommy
Sumardi yang juga berstatus tersangka gratifikasi dalam penghapusan red notice
Djoko Tjandra. Fakta tersebut diketahui usai polisi melakukan penyelidikan.
Perlu diketahui dalam kesepakatan itu, nilai uang yang ditawarkan pada awalnya Rp
3 miliar. Namun, angka tersebut batal sehingga kesepakatan bertemu di angka Rp7
miliar.
“Fakta perbuatan Pemohon adalah setelah adanya pertemuan kesepakatan tentang nilai
sejumlah yang awalnya Rp3 Miliar yang akhirnya nilai tersebut disepakati sebesar
Rp7 miliar,” jawab tim hukum Bareskrim Polri.
Mereka melanjutkan, uang senilai Rp7 miliar itu diberikan dalam pecahan Dollar
Amerika dan Dollar Singapura secara bertahap. Selanjutnya, kubu Bareskrim Polri
menyatakan jika pihaknya telah menyesuaikan sejumlah bukti yang berkualitas
seperti kesaksian para saksi, serta bukti surat lainnya.
“Bukti CCTV jelas-jelas melihat uang tersebut diserahkan kepada pemohon.
Penyerahan uang tersebut berimplikasi pada pengambilan keputusan yang lebih
menguntungkan pemberi suap,” lanjut tim hukum Bareskrim Polri dalam sidang
praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (29/9).
Dengan demikian, tim hukum Bareskrim Polri meminta hakim menolak seluruh dalih
yang diajukan oleh Napoleon selaku pemohon. Tak hanya itu, termohon juga tidak
menjawab satu per satu permohonan yang dibacakan pada sidang sebelumnya.
“Bahwa termohon menolak dengan tegas seluruh dalil permohonan praperadikan yang
diajukan pemohon, kecuali yang benar-benar diakui secara tegas oleh termohon,”
jawab mereka.
Sebut Tak Ada Bukti Suap
Pada sidang sebelumnya yang dihelat pada Senin (28/9), kubu Napoleon Bonaparte
membacakan surat pemohonan di hadapan majelis hakim. Mereka menilai jika Bareskrim
Polri selaku termohon tidak memiliki bukti penerimaan suap terhadap kliennya.
“Pemohon juga meyakini bahwa sampai saat ini penyidik tidak memiliki barang bukti
suap sebagaimana yang disangkakan dalam pasal-pasal pidana yang dicantumkan dalam
surat perintah penyidikan,” kata kata Kuasa Hukum Napoleon, Putri Maya Rumanti
membacakan surat permohonan.
Putri menambahkan, gugatan juga diajukan agar status tersangka yang merundung
kliennya bisa diuji dalam sidang praperadilan. Tal hanya itu, dia menyebut jika
Napoleon tidak menerima suap ataupun uang dari sejumlah pihak dalam kasus
tersebut.
“Pemohon memang tidak pernah menerima pemberian suap atau janji dalam bentuk
apapun terkait red notice atas nama Djoko S Tjandra,” sambungnya.
Putri melanjutkan, sebelum masuk ke tahap penyikan, Polri selaku termohon disebut
tidak mempunyai alat bukti yang cukup untuk menjerat tersangka sebagaimana
termaktub dalam Pasal 184 ayat 1 KUHAP.
Gugatan praperadilan tersebut diajukan oleh Napoleon pada 2 September 2020.
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan sebelumnya telah menjadwalkan sidang perdana
pada Senin (21/7/2020) lalu.
Dalam perkara kasus dugaan gratifikasi terkait penghapusan red notice Djoko
Tjandra, sejauh ini penyidik Dittipikor Bareskrim Polri telah menetapkan empat
orang tersangka. Keempat tersangka yakni, eks Kadiv Hubinter Polri Irjen Pol
Napoleon Bonaparte, Kakorwas PPNS Bareskrim Polri Brigjen Pol Prasetijo Utomo,
Djoko Tjandra dan Tommy Sumardi.
Penyidik menetapkan Djoko Tjandra dan Tommy sebagai tersangka pemberi gratifikasi
atau suap. Sedangkan, Napoleon dan Prastijo ditetapkan sebagai tersangka penerima
suap.
Dalam pengungkapan kasus tersebut penyidik telah menyita sejumlah barang bukti.
Beberapa barang bukti yang disita yakni uang senilai 20 ribu USD, surat-surat,
handphone, laptop dan CCTV.
Adapun, penyidik sendiri berencana akan melimpahkan berkas perkara tersebut ke
Kejaksaan Agung RI dalam waktu dekat ini.
Setelah sebelumnya Kejaksaan Agung mengembalikan berkas perkara tersebut ke
penyidik lantaran dinilai belum lengkap atau P19.
Sumber: Merdeka