SOSOK  

Irjen Polisi H. Fakhrizal : Jenderal Urang Awak Nan Sederhana

Nama Jenderal polisi bintang dua asal Minangkabau ini sangat populer di kalangan masyarakat Provinsi Sumatera Barat.

Inspektur Jenderal Polisi Drs. Haji Fakhrizal M. Hum yang kini Kepala Kepolisian Daerah Sumatera Barat ini dikenal berbagai lapisan masyarakat sebagai perwira tinggi Polri nan sederhana.

“Beliau orangnya sederhana. Egaliter. Merakyat. Mudah ditemui dan mau mendengar keluhan masyarakat dan mencarikan solusinya,” kata Awaluddin Awe, wartawan senior di Sumbar yang tinggal di Padangpanjang.

“Sejak Pak Fahrizal jadi Kapolda Sumbar Kamtibmas di Sumbar sangat kondusif. Itu yang kami lihat dan rasakan,” kata YB. Datuk Parmato Alam Ketua DPRD Kota Payakumbuh yang juga Ketua Partai Golkar Payakumbuh.

“Baru kali ini kami melihat Kapolda yang tidak ada jarak dengan masyarakat apalagi pemuda dan mahasiswa. Beliau akrab dengan kita semua,” kata Zaidina Hamzah seorang tokoh pemuda di Padang — sambil memperlihatkan fotonya dengan Kapolda Sumbar.

“Kelebihan Pak Fakhrizal mau mendengarkan masalah masyarakat dan selalu berusaha mencari jalan keluar. Di zaman beliau jadi Kapolda inilah kami merasakan begitu harmonis hubungan polisi dan masyarakat,” ujar Wakil Bupati Kabupaten 50 Kota Ferizal Ridwan.

“Pak Fakhrizal satu-satunya pejabat di Sumbar yang selalu menyediakan waktunya untuk menggelar kegiatan budaya dan seni di Minangkabau. Kami merasakan itu,” ujar Habib Datuk Monti seniman dan budayawan terkenal di Situjuh Luhak Nan Tigo.

Donny Magek Piliang seorang mantan aktivis mahasiswa 1998 asal Agam yang kini bermukim di Yogyakarta mengatakan, Kapolda Sumbar ini salah satu perwira tinggi kepolisian yang dekat dengan seluruh lapisan masyarakat Sumbar. “Saya sering WhatsApp beliau. Melaporkan berbagai masalah dan itu direspon dengan baik,” ujarnya.

“Wajah beliau teduh dan memancarkan aura kebapakan. Dan tidak pernah terlihat emosi. Sosok religius yang kami rasakan,” kata Yemita M. Yusuf seorang aktivis perempuan asal Kamang, Agam yang kini bermukim di Jakarta

***

TERLAHIR sebagai anak tentara, Fakhrizal kecil menghabiskan waktu selama 12 tahun di asrama Batalyon Infanteri (Yonif) 133, Air Tawar, Padang. Bapaknya, Sabri yang kini sudah berusia 80 tahun, merupakan anggota TNI AD dengan pangkat terakhir Pembantu Letnan Satu (Peltu).

Serupa anak kolong – sebutan bagi anak polisi atau tentara –, Fakhrizal menjalani hari-harinya di asrama. Namun, hidup yang dijalaninya jauh dari kata mapan.

Terlahir sebagai anak tentara, masa kecil Fakhrizal memang beda dengan kebanyakan anak tentara lainnya. Dia lebih gandrung bermain sepakbola dibandingkan berkumpul tanpa melakukan kegiatan berfaedah.

Jika tak main bola, dia tanding voli, atau memilih membaca Alquran saja di rumah. Jarang dia bauru-uru. Setiap hari baginya mesti memberi arti, baik pada keluarga, atau lingkungan.

Bermain sepakbola merupakan hobinya, bahkan Fakhrizal ikut seleksi skuat PSP Padang junior, klub sepakbola yang beberapa tahun nan lampau memiliki prestasi mentereng, sebelum akhirnya meredup. Keinginan Fakhrizal untuk menjadi pesepakbola professional terkubur seiring lulusnya dia seleksi Akademi Bersenjata Republik Indonesia (Akabri).

Memiliki seorang bapak dengan pangkat rendah dan bergaji yang tak seberapa, membuat keluarga Fakhrizal hidup seadanya, jauh dari kata mapan.

“Hidup enak waktu itu hanya ada dalam bayangan, maklum, bapak hanya tentara dengan pangkat rendah. Gajinya kecil, kadang untuk makan saja sulit” ungkap Fakhrizal, mencoba kembali merawikan kisah hidupnya di masa-masa sulit, ketika bertemu dengan penulis di rumah pribadinya, kawasan Siteba, Kota Padang beberapa waktu lalu.

Senyum jenderal bintang dua asal Agam itu lebar, dengan alis yang agak terangkat ketika meluncurkan kalimat.

Meski hidup melarat, sang bapak tak pernah membiarkan anaknya tak bersekolah. Segala hal diupayakan agar enam buah hatinya bisa menempuh pendidikan yang layak. Kalau bapak mengajarkan Fakhrizal bagaimana cara hidup disiplin, bertanggungjawab dan tahu diri, ibunya bernama Asmi (76) menanamkan nilai-nilai kehidupan, seperti berbagi kepada sesama, dan tidak jumawa. Ajaran kedua orang tua lah yang membentuk karakter Fakhrizal.

Hidup serba kekurangan, tak membuat keluarga asal Pakan Sinayan, Kamang Mudiak, Agam itu patah arang, terutama Fakhrizal. Sebagai anak tertua dari enam bersaudara, Fakhrizal tahu diri. Dia lelaki Minang, sedari kecil diajarkan beragama, beradat dan tahu tanggung jawabnya.

“Di bahu saya terpikul masa depan keluarga, saya adalah pengharapan bapak dan ibu untuk mambangkik batang tarandam, menaikkan derajat keluarga dan menjaga kehormatannya,” papar Fakhrizal.

Sebab itu, dia bekerja keras mewujudkan impiannya. Waktu duduk di bangku SMA, Fakhrizal bermimpi bisa menjadi tentara, seperti bapaknya, namun takdir menuntunnya ke pengabdian yang lain. Selepas menuntut ilmu di SMA Negeri 2, Padang, Fakhrizal tes Akabri, dan dinyatakan bergabung dengan korps kepolisian, bukan tentara seperti bapaknya.

“Lokasi pendaftaran waktu itu di markas Amandam, yang ada di Muaro Padang. Lewat pendaftaran itulah petualangan saya sebagai polisi dimulai,” ungkap ayah empat anak tersebut.

Tuhan ternyata membukakan pintu lebar pada Fakhrizal untuk menjadi pambangkik batang tarandam keluarganya. Hanya sekali tes, dia lulus Akabri dan menempuh pendidikan kepolisian. Lepas pendidikan pada tahun 1986, dia ditempatkan di Polda Metro Jaya, persisnya sebagai Wapamapta Res Metro Jaksel, Polda Metro Jaya. Di awal-awal berdinas, Fakhrial berputar-putar di Polda Metro jaya saja.

Hingga tahun 1990, terhitung dia pernah memikul empat jabatan. Selain Wapamapta, dia juga pernah menjadi Paur Minik Serse Res Jaksel, Kanit Resintel Res Metro Pasar Minggu dan Kanit Res Intel Metro Kebayoran Baru Polda Metro Jaya. Petualangan Fakhrizal sebagai polisi dimulai dari jantung Indonesia.

Menemukan Tambatan Hati

Juni, tahun 1988 barangkali menjadi bulan yang tak akan pernah dilupakan Fakhrizal. Di bulan itulah dia bertemu dengan tambatan hatinya, Ade Fakhrizal, peragawati muda. Keduanya bertemu setelah Ade yang berstatus Putri Ayu Sumatera Barat tahun 1988 mewakili Sumbar ke ajang Putri Ayu Indonesia di Jakarta.

Keduanya dipertemukan Tuhan dengan cara yang unik. Usai ajang, Ade yang menjadi juara tiga, berjalan-jalan dengan finalis perwakilan Lampung dan Jawa Timur. Sialnya, mereka malah tersesat dan minta ditunjuki jalan pada Polantas. Tahu yang tersesat orang Sumbar, petugas lantas itu lalu diperkenalkan dengan Fakhrizal. Harapannya, agar Fakhrizal menjadi penunjuk jalan. Rupanya, perkenalan itu menjadi awal kebersamaan keduanya. Mereka malah saling bertukar alamat. “Sama-sama orang Minang, tapi bertemunya di Jakarta,” ungkap Fakhrizal.

Setelah berkomunikasi selama enam bulan, dan tiga kali bertemu, akhirnya Fakhrizal memberanikan diri untuk melamar Ade. Dia merasa yakin, Ade yang saat itu berstatus sebagai pegawai bank mampu menjadi pendampingnya seumur hidup. Lamaran Fakhrizal diterima, keduanya melangsungkan pernikahan. Pilihan Fakhrizal tak salah, Ade Fakhrizal merupakan pilihan yang tepat. Keduanya seirama menempuh pasang surut kehidupan.

Kala menikah, Fakhrizal sedang bertugas di Polsek Pasar Minggu, Jakarta, dengan pangkat Letnan Dua (Letda), atau sekarang setara dengan Iptu. Gajinya Rp93 ribu, sangat jauh dari kata cukup untuk membiayai hidup. Tinggalnya juga di asrama. “Di tahun-tahun pertama menikah, kami begitu diuji. Gaji pas-pasan, kadang kurang. Tinggalnya di asrama. Kadang, gaji hanya cukup untuk setengah bulan. Untuk menyambung hidup, seringkali hanya makan mie. Tapi hebatnya, istri tak pernah mengeluh. Kalau saya sudah terbiasa susah,” kenang Fakhrizal.

Fakhrizal dikarunai empat anak. Si sulung, Alfano Ramadhan mengikuti jejaknya sebagai polisi, tiga lainnya perempuan. Julia Nofadini dan Julia Nofadina kembar, sedangkan si bungsu diberi nama Syarfina. Kepada anak-anaknya, Fakhrizal mengajarkan kesederhanaan. Dia ingin anaknya menjadi pribadi yang rendah hati, luhur dan tidak merasa tinggi hati, dengan segala karunia yang diterima.

Memimpin dengan Hati

Karir Fakhrizal di kepolisian termasuk mentereng. Jalannya dimudahkan Tuhan. Sebelum menjabat Kapolda Sumbar, dia memimpin Polda Kalimantan Tengah. Selama menjadi pemimpin, Fakhrizal dikenal tak berjarak dengan bawahannya. Dia juga memimpin dengan hati, dan jauh dari gaya tangan besi.

Dia menempatkan diri sebagai bapak, dan menjadi pelindung bagi jajaran. Komunikasinya terbuka, bahkan kepada anggota dengan pangkat terbawah sekalipun.

“Pemimpin adalah muara segala masalah, dan hulu bahagia bagi orang-orang yang dipimpinnya. Saya tak ingin dikenal sebagai pemimpin yang bertangan besi, tapi diingat sebagai seorang bapak, seorang ayah, yang menaungi dan melindungi,” papar Fakhrizal.

Ucapan Fakhrizal tak sekadar di mulut saja. Itu dibuktikannya. Dia merupakan pemimpin yang selalu diharapkan hadir. Kedatangannya selalu dinantikan, kepergiannya ditangisi.

“Saya hanya menjalankan apa yang seharusnya dijalankan seorang pemimpin. Tidak zamannya lagi pemimpin bersikap otoriter, anti kritik atau bertangan besi. Saat ini, yang dibutuhkan adalah pemimpin yang humanis, tidak membedakan bawahan, atau mengelompokkan diri, serta asyik saja dengan kelompok yang dibuatnya. Sebagai pemimpin, saya pelindung bagi seluruhnya,” papar Fakhrizal.

Seperti tulisan Insannul Kamil, Irjen Fakhrizal menjalankan tugas profesi kepolisian, keluarga dan kemasyarakatan yang sangat bersahaja dan penuh empati yang menunjung tinggi prinsip – prinsip agama dan adat istiadat.

Fakhrizal tidak pernah menampilkan dirinya sebagai seorang Jenderal Polisi dan dalam kapasitas Kapolda yang harus ditakuti orang lain, sebaliknya karakter bersahaja dan penuh empati yang telah menjadi identitas dirinya, membuat semua lapisan masyarakat sangat menghormati dan menghargainya.

Lain halnya dengan persoalan yang menyangkut pelanggaran hukum, Fakhrizal akan menindaknya sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Ia tidak tebang pilih dalam hal ini dan menjadikannya menjadi pemimpin yang sangat disegani di Sumatera Barat saat ini. Ia memberi contoh tauladan kehidupan beradat sesuai dengan ajaran adat budaya Minangkabau.

Irjen Pol Fakhrizal memang sosok yang berkarakter Minangkabau sejati, humanis-egaliterian. Oleh karena itu, predikat yang pantas untuk beliau adalah; Polisi niniak mamak. Dia Kapolda yang selalu menerapkan nilai-nilai agama dan adat dalam rutinitas kesehariannya.

Dia paham, menjadi polisi di Minangkabau, apalagi polisi yang berasal dari suku Minangkabu, bukan hanya sekedar menjalankan tugas-tugas sebagai polisi, tapi juga menjadi manusia yang bisa menghargai dan memanusiakan manusia yang lain, bukan malah menjustisfikasi, merendahkan atau malah mendiskriminasi.

Tak Bisa Melihat Orang Susah

Kebiasaan yang tak pernah ditinggalkan Fakhrizal adalah berbagi dengan bawahannya. Jika pulang kantor, Fakhrizal acap kali memberi uang belanja kepada jajarannya. Mulai dari pintu keluar hingga jelang masuk ke pintu mobil. Dari ajudan hingga petugas jaga di Mapolda Sumbar, diberinya uang.

Cara itu dilakukan Fakhrizal sebagai bentuk menghargai pengabdian bawahannya, sekaligus untuk mendekatkan diri dengan bawahan, membangun temali silaturahmi. “Setiap tetes keringat itu mesti dihargai,” tuturnya.

Kelemahan Fakhrizal yakninya tak bisa melihat orang susah. Dia tak sampai hati menyaksikan atau mendengar nasib pilu seseorang. Semisal, jika menemani istri belanja ke pasar, dan melihat ada penjual yang galehnya tak laku-laku, Fakhrizal akan memborongnya.

Pengamen di Kota Padang banyak kenal dengannya, karena selalu diberi uang, begitu juga dengan tukang sapu, penjual kacang rebus, hingga pramusaji di warung-warung biasa dia makan dan minum.

Cerita kepedulian Fakhrizal juga disampaikan Wasdian, komite Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB) Lintau Buo, Kabupaten Tanah Datar. Ketika berkunjung ke SDLB itu pada Agustus 2017, Fakhrizal langsung memberikan bantuan mobil operasional. Biaya pembelian mobil itu dari kantong pribadinya. Tak sampai di situ, Fakhrizal juga memastikan para guru SDLB tercukupi kebutuhannya.

“Ada 14 orang guru SDLB yang dibantu Kapolda. Setiap bulan, gaji mereka ditambah Rp500 ribu. Itu sampai sekarang. Kapolda yang memberikannya,” papar Wasdian.

Kisah kebaikan Fakhrizal tak hanya berhenti di Wasdian, entah sudah berapa banyak orang yang dibantunya. Selain itu, Fakhrizal juga dikenal sebagai sosok yang sangat peduli dengan kegiatan berbau budaya, dan olahraga.

Sejak dia menjabat Kapolda Sumbar, dunia olahraga di Sumbar kembali bergairah. Para atlet disupport. Sekarang, Irjen Fakhrizal sedang menggelorakan pengembangan bakat pesepakbola di seluruh pelosok Sumbar, dengan program bantuan bola ke setiap nagari.

Program yang dijalankan Fakhrizal, hanya bertujuan agar nama Sumbar kembali hidup di kancah olahraga nasional, seperti dahulu. Dia merasa iri dengan daerah lain, yang mampu melahirkan atlet-atlet berprestasi, berbeda dengan Sumbar. Dunia olahraga Sumbar seolah jalan di tempat.

Padahal, jika mau, Fakhrizal bisa saja tak peduli dengan segala hal di luar institusi kepolisian, tapi dia tidak bisa. Dia ingin Sumbar maju, terdepan, masyarakatnya damai, aman, dan sejahtera.

“Saya memiliki keterikatan bathin dengan negeri ini, dan ingin setiap orang mendapatkan haknya dengan rata. Itu pula sebabnya saya tak ingin Sumbar kalah oleh daerah lain, dari segi apa saja, termasuk olahraga. Saya ingin nama Sumbar kembali harum, dan dihormati dan disegani. Hanya itu alasan saya berbuat, tak lebih,” paparnya.

Fakhrizal kini sudah berusia 56 tahun. Dia sosok jenderal yang lain dari yang lain, selalu membawa angina perubahan dimana saja berdinas. Tujuannya memimpin jelas tidak hanya untuk disegani, tapi untuk berbuat lebih demi kepentingan orang banyak. Fakhrizal pemimpin yang sudah mengalami banyak ujian dari pasang surutnya kehidupan.

Sikap rendah hati yang dimilikinya, dan ketulusannya melayani merupakan buah dari ujian yang dilalui. Fakhrizal berarti, tidak hanya bagi dirinya, keluarga dan orang-orang terdekat, tapi juga bagi institusi kepolisian serta Sumatera Barat, kampung halaman yang dicintainya semati-mati cinta.

Tata Tanur

Sumber Tribunsumbar.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.