Dewinta Pringgodani SH MH
Jakarta, kabarpolisi.com – Tindakan tegas Kapolri Jenderal Polisi Idham Azis yang mencopot tiga perwira tinggi Polri yang diduga membantu pelarian buronan kasus cessie Bank Bali Djoko Tjandra diapresiasi oleh publik kata pengamat hukum, politik dan keamanan Rr. Dewinta Pringgodani, SH, MH.
“Masyarakat sangat memuji tindakan tegas Kapolri Jenderal Polisi Idham Azis. Bukan hanya dicopot ketiga Pati Polri juga menghadapi pemeriksaan internal kepolisian,” kata Dewinta Pringgodani kepada kabarpolisi.com tadi malam di Jakarta.
Menurut Dewi, tindakan tegas ini memang perlu dilakukan Kapolri untuk mengangkat citra Polri yang tercoreng akibat kasus yang memalukan ini.
“Kapolri sangat tegas. Belum terbukti apakah ketiga Pati tersebut bersalah namun Kapolri mencopot jabatan mereka untuk memudahkan pemeriksaan internal kepolisian. Kita acungi jempol untuk Pak Idham,” kata pengamat kelahiran Solo, Jawa Tengah ini.
Pertama kali, Idham mencopot Kepala Biro Koordinasi dan pengawasan PPNS Bareskrim Brigjen Polisi Prasetijo Utomo dari jabatannya setelah terbukti menandatangani surat jalan untuk Djoko melintas dari Jakarta ke Pontianak Juni lalu.
“Pencopotan itu sesuai dengan surat telegram Kapolri bernomor ST/1980/VII/KEP./2020 tertanggal 15 Juli 2020. Dalam hal ini, Prasetijo menjalani pemeriksaan di Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) dan ditahan selama 14 hari di ruang khusus Provos Mabes Polri,” kata Dewinta Pringgodani.
Walaupun penyidikan internal terhadap dirinya hingga Jumat (17/7) pun belum rampung. “Namun sejumlah fakta-fakta terungkap. Misalnya, dia sempat berkomunikasi langsung dengan Djoko Tjandra tanpa melalui perantara,” ujar Dewi.
Kemudian, kata Dewi, perwira tinggi Polri ini diduga membantu Djoko Tjandra untuk membuat surat keterangan bebas Covid-19 sehingga berpergian. “Diketahui, dia membantu dengan medampingi dan memanggil dokter dari Pusdokkes Polri untuk memeriksa orang yang mengaku sebagai Djoko Tjandra,” Dewi menuturkan.
Seperti diberitakan, bukan hanya polemik surat jalan Djoko Tjandra. Kini, Kapolri pun mencopot dua perwira tinggi lain di Korps Bhayangkara karena terlibat dalam sengkarut penghapusan red notice atas nama buronan itu dari data Interpol sejak 2014 lalu.
Mereka adalah Kepala Divisi Hubungan Internasional Inspektur Jenderal Napoleon Bonaparte dan Sekretaris NCB Interpol Indonesia Brigadir Jenderal Nugroho Slamet Wibowo. Keduanya menjalani pemeriksaan di Propam dan dinyatakan telah melanggar etik.
Pencopotan dua perwira tinggi itu tertuang dalam surat telegram (STR) nomor ST/2076/VII/KEP/2020 yang ditandatangani oleh Asistem Sumber Daya Manusia (SDM) Polri Irjen Sutrisno Yudi Hermawan atas nama Kapolri tertanggal 17 Juli 2020.
Nugroho dalam jabatannya sempat bersurat ke Dirjen Imigrasi pada 5 Mei 2020 lalu untuk memberikan informasi terkait terhapusnya data red notice Joko Tjandra di Interpol. Menurut Argo, terdapat kesalahan dalam penerbitan surat tersebut dan tidak melalui proses pelaporan terhadap pimpinannya.
Hal itu kemudian merembet juga pada Napoleon yang merupakan pimpinan dari Nugroho di Divisi Hubungan Internasional Polri.
“Kelalaian dalam pengawasan staf,” kata Kepala Divisi Humas Mabes Polri Irjen Polisi Argo Yuwono.
Dalam surat telegram itu, Napoleon dimutasi sebagai Analis Kebijakan Utama Inspektorat Pengawasan Umum Polri. Posisi Napoleon digantikan Wakil Kapolda NTT Brigjen Johanis Asadoma.
Sementara Nugroho dimutasi sebagai Analis Kebijakan Utama bidang Jianbang Lemdiklat Polri. Posisi Nugroho digantikan oleh Brigjen Amur Chandra Juli Buana yang sebelumnya menjabat Kadiklatsusjatrans Lemdiklat Polri.
Bukan hanya mengapresiasi tindakan tegas Kapolri, Dewinta Pringgodani juga memuji tindakan tegas Kepala Badan Reserse Kriminal (Kabareskrim) Polri Komisaris Jenderal Listyo Sigit Prabowo pun mengatakan bahwa pihaknya bakal mengusut tuntas semua kejahatan anggota kepolisian yang ada dalam pusaran Djoko Tjandra ini secara pidana.
“Bahkan Kabareskrim Polri juga membentuk tim khusus yang beranggotakan personel dari Direktorat Tindak Pidana Umum, Direktorat Tindak Pidana Korupsi, Direktorat Siber,” ujar Dewi.
Dewi mengatakan, polemik pelarian Djoko Tjandra di Indonesia belakangan ini memang memuncak. Bukan hanya di Korps Bhayangkara, namun sebelumnya terdapat satu pejabat sipil yang dicopot lantaran diduga turut membantu Djoko Tjandra.
“Saya melihat tindakan tegas Kapolri dan Kabareskrim ini dapat memperbaiki citra Polri yang sempat tercoreng. Karena itu mari kita dukung pimpinan Polri mengusut dugaan keterlibatan anggotanya ini secara profesional dan transparan,” kata Dewi.
Dewinta menolak tegas ada pihak-pihak yang meminta Kapolri mundur dan ikut bertanggung jawab. “Lha ini kan ulah oknum. Bukan tindakan institusi. Permintaan Kapolri mundur itu ngawur,” kata Dewi.
“Justru sebaliknya kita harus memberikan dukungan agar Kapolri membersihkan oknum-oknum yang mencari keuntungan pribadi di kepolisian Republik Indonesia,” kata dia.
Sejak menjabat Kapolri, Dewi melihat Jenderal Idham Azis berupaya keras mewujudkan Polri yang promoter (profesional, moderen dan terpercaya) dalam tubuh Polri.
“Saya percaya Pak Idham Azis telah bekerja keras menjaga citra Polri yang sebelumnya telah dimulai oleh mantan Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian,” ujarnya.
Dewinta Pringgodani mengajak masyarakat untuk mendukung Kapolri Jenderal Polisi Idham Azis membersihkan Polri dari oknum-oknum Polri yang nakal. “Dengan lembaga sebesar Polri dengan ratusan ribu anggota jika ada satu dua oknum nakal wajarlah. Yang penting Kapolri pasti menindak dengan tegas oknum polisi tersebut,” kata Dewinta Pringgodani.
Aparat Hukum Kecolongan
Aparat penegak hukum kecolongan. Djoko Soegiarto Tjandra, salah satu terpidana kasus korupsi paling dicari sejak 2009, tiba-tiba dikabarkan di Indonesia untuk mengajukan upaya hukum di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Djoko Tjandra meninggalkan Indonesia pada 2009 saat Mahkamah Agung menjatuhkan vonis kepadanya terkait korupsi pengalihan (cessie) tagihan Bank Bali pada 1999. Sejak buron, kabarnya simpang siur. Ia dikabarkan lari ke negara tetangga dan menjadi warga negara Papua Nugini (PNG).
Jaksa Agung ST Burhanuddin mengatakan Djoko Tjandra ke Indonesia pada 8 Juni 2020. Ia mengakui kecolongan karena informasi pendeteksian di Imigrasi lemah. Tapi Yasonna H Laoly, Menteri Hukum dan HAM, kementerian yang mengawasi Imigrasi, membantahnya. Sistem imigrasi, kata Yasonna, tak mendeteksi orang masuk dengan nama Djoko Tjandra.
Ada dugaan pergantian identitas nama sehingga Djoko Tjandra bisa masuk ‘tanpa terdeteksi’: dari Djoko Soegiarto Tjandra menjadi Joko Sugiarto Tjandra. Hal itu diketahui setidaknya dari berkas putusan perkara di Mahkamah Agung (MA), nomor 12 PK/Pid.Sus/2009.
Menurut Bonyamin Saiman dari Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), organisasi yang fokus pada isu pemberantasan korupsi, perubahan nama dilakukan di sebuah pengadilan negeri di Provinsi Papua. Kapan waktu pengubahannya, Bonyamin tak menjelaskan.
Merunut Perkara Cessie Bank Bali
Lika-liku pelarian Djoko Tjandra ke Indonesia bermula dari kandasnya permohonan bebas dari MA. Posisi Djoko saat itu sudah divonis bersalah dan harus masuk penjara dua tahun, kena denda Rp15 juta, dan kewajiban mengganti kerugian negara Rp546.466.166.369.
Dalam kasus itu, Djoko Tjandra merupakan direktur PT Era Giat Prima. Ia mengikat perjanjian pengalihan/cessie tagihan dengan PT Bank Bali pada 11 Januari 1999. Saat itu, Bank Bali menjadi bank penyalur mengalihkan tagihan sekitar Rp798 miliar terhadap PT BDNI.
Perjanjian tanpa diikuti penyerahan dokumen bukti transaksi. Djoko tak menyerahkan sepeser pun dana pembayaran atau jaminan pembayaran. Surat perjanjian pengalihan bersifat proforma atau formalitas.
Djoko hanya menjanjikan penyerahan surat-surat berharga kepada Bank Bali, bank pemerintah, dan bank-bank BUMN senilai tagihan paling lama 6 bulan perjanjian. Tapi itu tidak dipenuhi Djoko.
Djoko Tjandra bersama sejumlah koleganya melawan hukum dengan mempercepat proses pencairan dana piutang Bank Bali di luar prosedur dan menyimpang dari surat keputusan bersama nomor 30/270/KEP/DIR dan nomor 1/BPPN/1998 tanggal 6 Maret 1998.
Negara rugi sekitar Rp904 miliar akibat pencairan tagihan tanpa prosedur jelas dari Bank Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) ke Bank Bali. Di antaranya dana itu mengalir ke Djoko Tjandra berkisar Rp546 miliar dengan dalih kompensasi pengalihan tagihan dari Bank Bali.
Upaya PK di antara Tekanan
Djoko sempat ditahan hampir setahun, tepatnya 29 September 1999 sampai Agustus 2000. Ia bebas setelah pengadilan memutus bebas. Setahun kemudian, Kejaksaan Agung mengajukan kasasi tapi hakim menolaknya.
Berselang delapan tahun, Kejagung mengajukan peninjauan putusan kasasi. Hakim MA memenangkannya. Sehari sebelum hakim mengetok palu, rupanya Djoko Tjandra dikabarkan kabur ke Papua Nugini pada 10 Juni 2009. Anehnya, dalam bulan sama, Djoko Tjandra mengajukan peninjauan kembali kendati menelan kekalahan.
Kini situasinya berbeda. Rezim pemerintahan telah berganti, namun Djoko Tjandra kembali menjajal peruntungan dengan pengajuan PK kedua pada Juni lalu. Aparat penegak hukum telah mengendus posisinya, tapi tak kunjung menangkap sejak pelariannya di rezim lalu.
Saat Djoko Tjandra di PNG, aparat Indonesia telah memulai perjanjian bilateral pada 2013 untuk mengekstradisi. Tapi kabar terakhir senyap alias tak ada kemajuan apa-apa hingga rezim berganti.
Baru-baru ini Menteri Koordinator Politik, Hukum dan HAM, Mahfud MD mengumumkan perburuan kembali Djoko Tjandra. Menurutnya, negara tak boleh kalah melawan koruptor.
Posisi Djoko Tjandra masih misterius hingga kini. Tim kuasa hukum Djoko Tjandra, Andri Putra Kusuma, tak menjawab permintaan wawancara Tirto berkaitan kliennya hingga tulisan ini dirilis.
Budi Jaya