Kehancuran ISIS Bisa Jadi Bencana Bagi Indonesia

Abu Bakr al-Baghdadi, pemimpin ISIS yang meneruskan Abu Musab al-Zarqawi. (REUTERS/Social Media Website via Reuters TV)

JAKARTA, kabarpolisi.com – Pasukan militan ISIS di Timur Tengah perlahan mulai menuju kehancuran. Di satu sisi, ini jelas merupakan kemenangan bagi kemanusiaan, bukan hanya Suriah dan Irak. Namun, di sisi lain, runtuhnya kekhalifahan gadungan Abu Bakr al-Baghdadi ini juga berisiko menjadi bencana.

Didirikan pada 9 April 2013, kelompok teror ini mempunyai misi untuk mendirikan negara Islam dalam versi mereka sendiri. Secara de facto, negara itu dapat dikatakan sudah berdiri. Mereka mempunyai wilayah dan penduduk, meski didapatkan dengan cara paksa yang brutal.

Belum lagi, wilayah yang mereka kuasai di akhir 2014 sempat mencapai kurang lebih 100 ribu kilometer persegi. Gawatnya, wilayah itu dikawal oleh pasukan militan yang siap menjaga ‘kedaulatannya’. Tidak ada yang tahu pasti jumlah pasukan itu, tapi berbagai estimasi menunjukkan angka puluhan hingga ratusan ribu.

Turut dibantu oleh ‘jihadis’ dari seluruh dunia, termasuk Indonesia, para militan itu berhadapan dengan tentara pemerintah Irak dan Suriah serta sejumlah kelompok pemberontak lain yang tidak sepaham dengan ideologi brutal ISIS.

Bertempur melawan berbagai pasukan sekaligus, ditambah gempuran koalisi internasional yang dipimpin Amerika Serikat sebagai respons pembunuhan wartawan James Foley, kini ISIS telah kehilangan 60 persen dari wilayah yang dikuasainya pada 2014.

Di Irak, pemerintah telah resmi menyatakan kemenangan di Mosul–kota tempat Baghdadi mendeklarasikan kekhalifahannya dan memulai gerakan merebut wilayah negara tersebut. Sementara di Suriah, pasukan koalisi telah menembus tembok Rafiqa yang melindungi Raqqa–ibu kota de facto ISIS.

Meski masih ada beberapa wilayah lain yang dikuasai, sifatnya tidak terlalu signifikan. Hilangnya dua titik kunci ini jelas menandakan kejatuhan ISIS dan hancurnya kekhalifahan Abu Bakr al-Baghdadi.

Masalahnya, keruntuhan “negara” itu bukan berarti keberadaan ISIS telah berakhir. Mereka hanya akan berubah menjadi bentuk yang baru, atau mungkin kembali ke bentuk lamanya.

Riwayat ISIS berawal dari invasi Soviet di Afghanistan 1979 silam. Saat itu, seorang ‘jihadis’ bernama Abu Musab al-Zarqawi turut bertempur bersama pendiri Al-Qaidah, Osama bin Laden. Setelah perang tersebut selesai, Al-Qaidah meneruskan misi untuk melawan dunia Barat dan melancarkan serangkaian aksi teror, termasuk serangan 11 September di Amerika Serikat.

Serangan itulah yang membuat Negeri Paman Sam mengirimkan pasukannya ke Afghanistan, tempat Osama dan Zarqawi menjalankan Al-Qaidah, pada 2001. Osama melarikan diri ke Pakistan sementara Zarqawi kemudian melarikan diri ke Irak.

Sementara Osama bersembunyi, Zarqawi menjadi militan terkemuka di Irak karena bertempur dengan hebat melawan Amerika Serikat yang lagi-lagi menginvasi Timur Tengah. Setelah kejatuhan Saddam Hussein, pada 2004, Zarqawi mendirikan Al-Qaidah di Irak (AQI) yang kemudian menjadi ISI atau Negara Islam Irak, cikal bakal ISIS.

Pada 2006, Zarqawi tewas dalam serangan udara AS dan negara tersebut meninggalkan Irak pada 2011. Di saat yang sama, gerakan Arab Spring muncul dan Suriah menjadi tidak stabil menyusul tindakan opresif Bashar al-Assad terhadap para demonstran.

Saat itu, Baghdadi melanjutkan jejak Zarqawi dan membawa ISI mulai memasuki Suriah untuk membantu cabang Al-Qaidah di negara tersebut, Jabhat al-Nusra.

Seiring prosesnya, ISI yang bergerak di bawah komando Baghdadi menjadi semakin kuat dan berpengaruh di Suriah, hingga akhirnya berdirilah Negara Islam Irak dan Suriah, kelompok yang saat ini dikenal sebagai ISIS. Setelah itu, Al-Qaidah sendiri memutuskan hubungan dengan ISIS karena kelompok tersebut dinilai terlalu sadis.

Gerombolan brutal yang kerap melakukan eksekusi massal itu pun terus berkembang hingga akhirnya mulai jatuh pada 2017.

Keruntuhan “negara” bentukan Baghdhadi ini kemungkinan besar akan direspons ISIS dengan kembali ke bentuk lamanya, melakukan serangan-serangan teror ala Al-Qaidah. Mereka tidak akan lagi perang terbuka karena sudah tidak mempunyai pasukan yang besar dan persenjataan mumpuni.

Hal ini berisiko menjadi bencana karena dalam bentuk sel kelompok teror, bukan negara, mereka akan lebih sulit dideteksi dan bisa melakukan serangan di mana saja. Tidak melawan pasukan pemerintah, mereka bisa melancarkan aksi teror terhadap warga sipil.

Celakanya lagi, serangan teror itu bisa jadi tidak hanya terjadi di Irak dan Suriah. Saat ini pun, serangkaian aksi teror atas nama ISIS sudah banyak terjadi di seluruh dunia, termasuk di Indonesia.

Mereka mungkin hanya jaringan sel kecil atau pelaku lone wolf–teroris yang bergerak dengan inisiatif sendiri atas alasan ideologis tanpa kaitan langsung dengan organisasinya. Namun, dengan dukungan para pasukan yang kehilangan wilayah di Timur Tengah ini, ancaman yang mereka berikan bisa kian meningkat.

Meski tidak ada angka pasti, hingga 2016 lalu, diperkirakan ada 27 ribu warga asing yang bergabung dengan ISIS di Irak dan Suriah. Dari angka itu, diperkirakan ada ratusan warga Indonesia yang turut bertempur di Timur Tengah, termasuk Bahrun Naim yang diyakini mengomando serangan teror Thamrin, awal 2016 lalu.

Kehancuran ISIS di Timur Tengah bakal memaksa para pasukannya yang berhasil melarikan diri untuk kembali ke negara masing-masing. Ditambah dengan tren serangan teror yang meningkat belakangan ini, gelombang ‘mudik’ teroris itu bisa jadi memperkuat jaringan di negara asal. Belum lagi, pengalaman perang yang dibawa oleh para militan itu bisa membuat alat-alat teror semakin canggih.

Ini mirip dengan fenomena serangan teror awal 2000-an di Indonesia, di mana Bali dua kali diguncang oleh aksi bom mematikan. Saat itu, jaringan Jamaah Islamiyah yang bertanggung jawab atas perbuatan keji itu didukung oleh para alumni perang Afghanistan. Mereka membawa pengalamannya untuk membuat bahan peledak dalam skala besar.

Jelas, Indonesia menjadi bagian dari negara-negara yang terancam oleh risiko bencana teror lebih luas ini. Pemerintah harus cepat tanggap.

Sumber : Rinaldy Sofwan CNN Indonesia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.