Kenapa Izin Hotel Alexis Tidak Diperpanjang Pemprov DKI Jakarta?

JAKARTA, kabarpolisi.com- Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menolak memperpanjang tanda daftar usaha pariwisata (TDUP) Hotel Alexis dan Griya Pijat Alexis.

Penolakan terhadap permohonan TDUP Alexis ini tertuang dalam surat bernomor 68661-1.858.8.

Surat bertanggal 27 Oktober 2017 serta diteken oleh Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Satu Pintu Provinsi DKI Jakarta Edy Junaedi. Foto surat itu beredar di kalangan jurnalis.

“Iya, benar. Dapat dari mana?” kata Edy saat dimintai konfirmasi soal kebenaran surat itu, Senin (30/10/2017) kepada awak media.

Alexis mengajukan TDUP untuk hotel lewat aplikasi online ke Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Provinsi DKI Jakarta dengan nomor registrasi 60U0HG. Sedangkan permohonan TDUP griya pijat diajukan ke kantor unit Pelayanan Terpadu Satu Pintu Kecamatan Pademangan dengan nomor registrasi Z35DNU.

“Permohonan tanda daftar usaha pariwisata (TDUP) Hotel Alexis dan Griya Pijat Alexis belum dapat diproses,” demikian petikan jawaban Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Pemprov DKI.


Hotel Alexis

Seperti dilansir Detikcom, praktik layanan seks komersial ada di Hotel Alexis. Namun pihak Alexis menyatakan itu urusan individu dan tak disediakan hotel.

Berikut ini hasil investigasi Detikcom Dentuman musik techno langsung menyambar telinga sebelum memasuki lobi Hotel Alexis di Jalan RE Martadinata Nomor 1, RT 6 RW 4, Ancol, Pademangan, Jakarta Utara.

Penjagaan di hotel itu terlihat ketat. Begitu mobil yang mengantar kami masuk, petugas keamanan langsung meminta agar lampu kabin dinyalakan untuk keperluan pemeriksaan.

“Tolong nyalakan lampu dalam dan buka bagasi,” begitu kata seorang petugas dengan nada tegas pada Selasa, 17 Oktober 2017, sekitar pukul 22.00 WIB itu.

Begitu turun dari mobil, kami disambut empat petugas berpakaian safari serbahitam. Mereka meminta kami melintasi pintu yang dilengkapi dengan metal detector. Suara musik tersebut ternyata berasal dari lounge berlabel 4Play Club, yang terletak di sisi kiri lobi Hotel Alexis.

Di klub itu, para pengunjung terlihat sangat menikmati suguhan musik dan penari seksi yang meliuk-liuk di atas panggung berukuran 4×4 meter. Pada hari-hari tertentu, kabarnya, para penari tersebut tampil tanpa mengenakan sehelai benang pun alias bugil.

Namun kami lupakan dulu 4Play Club karena tujuan kedatangan kami adalah melihat suasana di lantai tujuh Alexis, yang disebut-sebut sebagai ‘surga dunia’. Adanya praktik prostitusi di ‘lantai surga’ Hotel Alexis itu belakangan menjadi pergunjingan publik.

Wacana penutupan Alexis mengemuka sejak era Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Namun Ahok selalu minta pembuktian adanya pelacuran di Alexis sebelum menindaknya. Ahok pun diserang Anies Baswedan sebagai calon gubernur pada masa kampanye Pilkada DKI 2017. Anies, yang menilai Ahok lemah, berjanji akan menutup Alexis.

Para politikus Kebon Sirih pun ogah ketinggalan. Beberapa anggota Komisi B DPRD DKI Jakarta, yang dipimpin Ketua DPRD DKI Jakarta Prasetyo Edi Marsudi, menyambangi Alexis pada Kamis, 24 Mei 2017. Tetapi mereka mengaku tak menemukan hal ‘aneh’ di Alexis.

Tolong handphone-nya dikeluarkan dulu.”
Benarkah tidak ada yang mencurigakan di lantai 7 Alexis?

Lantai 7 hotel bernuansa kehitaman itu dapat diakses melalui lift yang terletak di belakang meja resepsionis di bagian lobi. Begitu keluar dari lift, kami langsung disambut senyuman seorang resepsionis.

“Mau ke tempat spa, ya? Silakan pakai dulu ini.” Resepsionis berjenis kelamin laki-laki itu mengarahkan kami ke sebuah meja untuk mengenakan gelang berwarna merah dengan nomor tertentu.

Gelang itu dilengkapi chip untuk membuka loker, sekaligus dijadikan identitas tamu saat penagihan atas layanan yang diberikan. Setelah kami memakai gelang dan menuju area spa, dua petugas keamanan hotel yang berjaga di depan pintu mencegat kami.

“Tolong handphone-nya dikeluarkan dulu,” ujar petugas sekuriti berbadan tegap itu. Semua telepon seluler pengunjung memang diambil dan dipasangi stiker berbentuk bulat untuk menutup lensa kamera depan maupun belakang. Setelah itu ponsel dikembalikan dan kami dipersilakan menuju lounge dipandu dua waitress.

Setelah melewati loker untuk tamu yang ingin mengganti pakaian dan ke toilet, kami kemudian menuju sebuah lorong. Di ujung lorong itu terlihat sejumlah perempuan cantik berpakaian seksi laksana bidadari berlalu lalang. Mereka berjalan berbaris mengikuti seseorang yang diketahui sebagai muncikari.

Menariknya, perempuan-perempuan cantik yang ada di situ bukan hanya berasal dari Indonesia. Perempuan berwajah Oriental, melayu, Eropa Timur, bahkan Amerika Latin pun ada. Pada saat-saat tersebut, seorang perempuan berusia sekitar 30 tahun, yang parasnya tak kalah jelita, mendekati kami. “Baru datang, ya? Silakan ikuti saya,” ucap perempuan yang mengenakan pakaian blazer hitam itu.

Kami pun mengikuti langkah perempuan berambut lurus yang belakangan diketahui sebagai mami alias muncikari di Alexis itu. Rupanya kami diajak ke sebuah sudut bangunan yang di sana terdapat gazebo berjumlah delapan unit. Masing-masing gazebo dilengkapi dua sofa, sebuah meja, dan tirai.

Muncikari itu—sebut sana namanya Indah—kemudian mempersilakan para tamu duduk. Tak lama berselang, ia berpamitan dengan alasan ingin ‘menyiapkan anak-anak’. Sambil menunggu datangnya minuman yang kami pesan, mata kami menyapu seluruh isi ruangan dari balik tirai gazebo.

Malam itu, suasana di ‘lantai surga’, baik di dalam bar maupun gazebo, begitu riuh. Banyak pria yang terlihat duduk-duduk santai sambil menikmati alunan musik nan lembut. Gelak tawa perempuan-perempuan cantik sesekali terdengar. Sejumlah perempuan duduk berjajar di hadapan salah satu sofa yang berisi dua pengunjung.

Beberapa menit kemudian, Indah muncul kembali. “Sudah pernah datang sebelumnya?” tanyanya. Begitu kami bilang belum pernah, Indah pun langsung menjelaskan secara terperinci tarif layanan seks perempuan yang menjadi anak buahnya.

Kata Indah, untuk perempuan lokal atau asal Indonesia, tarifnya Rp 1,45 juta per sekali kencan. Durasinya sekitar satu jam. Sedangkan untuk perempuan ‘impor’, tarifnya bervariasi. Untuk perempuan asal Filipina, Thailand, Vietnam, Uzbekistan, dan Kolombia, harganya Rp 2,45 juta. Yang paling mahal adalah perempuan asal China, yang dipatok Rp 2,7 juta per sekali kencan.

Begitu kalimat order didengarnya, Indah langsung sigap menggelar kontes di gazebo yang kami tempati. Sekitar 20 perempuan dengan gaun malam menggoda dalam sekejap berdiri berjajar rapi. Kami pun memilih perempuan Indonesia agar lebih gampang mengorek keterangan tentang aktivitas mereka di sana.

Cecep Handoko

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.