Direktur Eksekutif Tan Malaka Institute Khatibul Umam Wiranu memberikan sambutan dalam bedah buku “Ayahku Maroeto Nitimihardjo: Mengungkap Rahasia Gerakan Kemerdekaan”, di Gedung Joang ’45, Menteng, Jakarta, 24 Maret 2017 (foto Erik Wirawan)
Jakarta, kabarpolisi.com – Maroeto Nitimihardjo, seorang pejuang dan perintis kemerdekaan Indonesia sangat layak jadi Pahlawan Nasional. Pernyataan ini disampaikan Khatibul Umam Wiranu, Direktur Tan Malaka Institute, dalam sambutannya pada acara bedah buku : “Ayahku, Maroeto Nitimihardjo,” karya Doktor Hadidjojo Nitimihardjo di Gedung Juang, Menteng 31, Jakarta, Jumat (24 Maret 2017).
Menurut anggota Komisi VIII DPR RI ini, jasa Maroeto Nitimihardjo sangat besar terhadap berdirinya Republik Indonesia . Bukan hanya terlibat dalam Sumpah Pemuda, Maroeto juga seorang perintis kemerdekaan dan menolak Konferensi Meja Bundar (KMB) –yang sangat merugikan Indonesia waktu itu.
“Saya sudah baca buku tulisan Pak Hadidjojo. Walau awalnya Pak Maroeto orang dekat Bung Hatta, dan Bung Syahrir, akhirnya beliau memilih jalan bersama Pak Tan Malaka dan ikut mendirikan Partai Murba,” kata tokoh muda Nahdlatul Ulama ini.
Bedah buku “Ayahku Maroeto Nitimihardjo” digelar Tan Malaka Institute dengan menghadirkan pembicara sejarawan Belanda yang juga peneliti sejarah Tan Malaka Dr. Harry A. Poeze, politisi Islam senior Ridwan Saidi dan Bonny Triyana, sejarawan muda yang juga Pemimpin Redaksi Majalah Historia. Moderator Bambang Sulistomo, putra Bung Tomo.
Pengikut Tan Malaka
Pada dekade 1970-an, Harry Poeze, bertandang ke Menteng, Jakarta Pusat. Sejarawan Belanda itu tengah mengadakan riset tentang perjuangan Tan Malaka dalam revolusi Indonesia. Poeze bersua dengan Maruto Nitimihardjo, tokoh Partai Murba, partai yang dibentuk Tan Malaka tahun 1948.
“Dia adalah informan yang penting. Sepintas dia terlihat moderat tapi nyatanya sangat radikal,” ungkap Poeze menggambarkan sosok Maruto.
Maruto Nitimihardjo lahir di Cirebon dari keluarga aristokrat, pada 26 Desember 1906. Persinggungannya dalam pergerakan diawali tatkala menjadi anggota Jong Java. Dia kemudian tergabung dalam Perhimpunan Pemuda Pelajar Indonesia (PPPI), salah satu organisasi pemuda yang menginisiasi Sumpah Pemuda.
Menurut sejarawan Bonnie Triyana, kesaksian Maruto yang dituturkan kepada putranya yang kelima, Hadidjojo dalam buku ini merupakan sumber sejarah yang bisa menjadi alternatif dalam memahami perjalanan sejarah kemerdekaan Indonesia.
Jejak langkah Maruto, menurut pemimpin redaksi majalah Historia ini, punya aspek menarik dan memberikan gambaran sejarah pada zamannya. Maruto lahir di zaman kolonial dari kalangan status sosial menengah ke atas dan mendapat pendidikan ala Barat. Kemudian turut dalam gelanggang pergerakan nasional dan berjuang di zaman Jepang. Bersama Adam Malik, Maruto turut membidani lahirnya Antara, cikal bakal kantor berita Indonesia.
“Pergerakan Maruto menjadi menarik karena di masa menjelang kemerdekaan, dalam buku ini dia menyatakan pemuda di kubunya adalah ‘kelompok tertutup,” tutur Bonnie.
Dalam buku ini, Maruto menyaksikan dan melakoni kisah lain di balik sejarah kemerdekaan Indonesia. Mulai dari langgam keroncong dalam lagu Indonesia Raya yang dialunkan WR Soepratman dalam Sumpah Pemuda hingga hingga kesakian tentang adanya testamen politik Bung Karno kepada Tan Malaka yang bertempat di kediaman Suharto, dokter pribadi Bung Karno, di Jalan Kramat raya, Jakarta Pusat.
Sebagai seorang Murbais, persinggungan Maruto dengan Tan Malaka tak serta merta. Muhammad Yamin-lah yang memperkenalkan Maruto terhadap gagasan Tan Malaka. Saat Kongres Pemuda II, Yamin memberikan risalah Tan Malaka berjudul Massa Actie (Aksi Massa) dan Naar de Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia). Kendati demikian, sebagai seorang elite terdidik, Maruto lebih memilih menjadi kader PNI Pendidikan yang dibentuk Mohammad Hatta dan Sutan Sjahrir hingga kedatangan Jepang.
Di masa revolusi, Maruto justru berseberangan dengan Sukarno-Hatta yang memilih berdiplomasi dengan Belanda. Program “Merdeka 100 persen” yang diserukan Tan Malaka pada Persatuan Perjuangan tahun 1946 menarik Maruto menjadi pengikut Tan Malaka. Partai Rakyat yang dipimpinnya berfusi menjadi Musyawarah Orang Banyak atau Murba pada 7 November 1948 yang diketuai oleh Sukarni namun dipromotori oleh Tan Malaka.
Di Partai Murba, Maruto lebih banyak diam dan mengendalikan partai dari dalam. Pada dekade 1950-an, Maruto menjadi yang pertama mengeluarkan mosi menolak Konferensi Meja Bundar (KMB). Dia menjabat Wakil Ketua Partai Murba antara 1952-1963 sebelum kemudian dibekukan pemerintahan Sukarno pada 1964.
Hingga akhir hayatnya, Maruto seorang Murbais yang konsisten ketika banyak tokoh Murba beralih haluan seturut dengan penguasa, seperti Adam Malik.
Dia meninggal pada 17 Januari 1989. Kini, Maruto yang telah menjadi perintis kemerdekaan diusulkan menjadi Pahlawan Nasional.
Ridwan Saidi yang juga turut sebagai pembicara mengapresiasi buku ini karna memperkaya perspektif sejarah. Kendati demikian, budayawan Betawi ini juga mengkritisi isi buku karena subjektivisme yang begitu kuat di dalamnya, terutama mengenai peran dan perjuangan kelompok Islam yang dipinggirkan.
Bedah buku juga dihadiri Menteri Sosial RI diwakili Prof. DR. Mas’ud Said, Stafsus Mensos Bidang Pengembangan dan Program Kementerian, pendiri Tan Malaka Institute, Zulfikar Kamarudin, Ben Ibratama Tanur, Prof. Zulhasril Nasir dan Bob R. Randilawe dan hampir seratusan aktivis, pemerhati sejarah dan tokoh mahasiswa. (erik/hamzah)