Oleh : Rinaldy Sofwan
Meski berpredikat sebagai kelompok teror dengan ideologi impor yang berasal dari Timur Tengah, ISIS sebenarnya tidak perlu menerima komando spesifik dari Irak dan Suriah untuk melancarkan aksinya. Karena itu, bak kaki dan tangan dengan kepala buntung, ancaman dari mereka bisa terjadi kapan saja.
Kelompok yang mengklaim diri sebagai negara Islam itu mulai melebarkan sayap ke Indonesia setidaknya sejak 2014. Berbeda dari jaringan yang ada di nusantara sebelumnya, ISIS lebih mengutamakan “jihad” di wilayah kekuasaannya yang terbentang antara Irak dan Suriah.
Dihantam habis-habisan oleh Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri, jaringan teror Indonesia kala itu sudah kesulitan untuk berbuat apa-apa. Karena itu, ideologi ISIS bisa jadi memberikan angin segar bagi sisa-sisa anggota Jamaah Islamiyah yang masih ada di tanah air.
Tokoh yang bekerja di balik layar sekaligus di balik jeruji adalah Aman Abdurahman, seorang teroris yang dipenjara sembilan tahun sejak 2010 karena kasus pendanaan pelatihan militer di Bukit Jalin Jantho, Aceh Besar, Aceh. Dia dianggap sebagai pemimpin de facto ISIS di Indonesia sekaligus ideolog yang menyebarkan pahamnya ke jaringan nusantara.
Terus berkembang, ISIS akhirnya menunjukkan taring pada 2016, lewat serangan bom dan penembakan di Thamrin, Jakarta. Aksi tersebut diyakini dikomando oleh Bahrun Naim yang berada di Suriah. Namun, menurut direktur Community of Ideological Islamic Analyst, Harits Abu Ulya, kasus di Indonesia tidak selalu membutuhkan komando dari luar negeri seperti itu.
“Seruan resmi ISIS kepada pengikutnya adalah untuk hijrah ke Suriah, wilayah ISIS. Jika dihalangi, maka diperintahkan membuka front jihad di mana mereka tinggal, sesuai kapasitas masing-masing dan tidak perlu menunggu komando khusus dari pimpinan ISIS di Suriah,” kata Harits kepada CNNIndonesia.com, Kamis (25/5).
Dengan demikian, kata Harits, “potensi serangan selalu ada dari pengikut ISIS di manapun mereka berada.”
Dia menjelaskan, warga Indonesia yang sudah masuk ISIS di Suriah sebenarnya tidak punya keinginan untuk kembali ke Indonesia. Dua tahun lalu, ada dua orang yang mencoba kembali dalam rangka merekrut anggota baru, kata Harits. Namun, mereka pun akhirnya ditangkap.
“Sangat kecil sekali potensi untuk kembali ke Indonesia,” kata Harits.
Sementara, di Indonesia para simpatisan ISIS yang tidak bisa hijrah ke Irak dan Suriah, akhirnya menjalankan perintah ISIS yang disebutkan Harits tadi. Mereka melakukan serangan-serangan sporadis dan individual terhadap anggota Kepolisian.
Tak jarang, serangan itu pun dilakukan sendiri. Tak terlibat jaringan sama sekali, mereka terpapar informasi dari internet dan media massa sehingga terinspirasi untuk melakukan serangan sendiri atau menjadi seorang teroris Lone Wolf–begitu sebutan buat mereka.
Belum lagi, di Timur Tengah, ISIS dilaporkan mulai kehilangan wilayah kekuasaannya sejak Oktober lalu, ketika pasukan Irak yang dibantu koalisi Amerika Serikat melancarkan operasi besar-besaran untuk merebut Kota Mosul. Mosul merupakan kota terpenting bagi ISIS di Irak. Di kota itu, pemimpin ISIS, Abu Bakr al-Baghdadi, mendeklarasikan kekhalifahan dan memulai penyebaran ideologinya.
Meskipun kini ISIS telah kehilangan sebagian kontrol di Mosul, kelompok itu masih menguasai sejumlah kota seperti Qaim, Hawija, dan Tal Afar, serta Raqqa di Suriah. Sejumlah pengamat terorisme internasional kerap menilai hal ini juga berkontribusi membuat operasi ISIS semakin gencar di luar wilayahnya sendiri.
Di Indonesia, kata Harits, kelompok teror itu secara umum “tiarap” dan tidak punya kapasitas untuk melakukan serangan dalam kapasitas besar. Namun, bukan berarti mereka tidak bisa melakukan serangan. Aksi bom bunuh diri di Kampung Melayu, Jakarta terbukti mematikan. Ada lima orang korban jiwa, termasuk dua pelaku, yang jatuh dalam peristiwa ini.
Markas Besar Polri menyatakan serangan ini patut diduga diotaki oleh ISIS, meski sejauh ini kelompok itu belum mengklaim. Harits pun menyatakan hal yang sama. “Kasus Kampung Melayu ada indikasi ini jejaring ISIS Indonesia yang terkait sosok Aman Abdurrahman,” ujarnya tanpa menjelaskan lebih lanjut.
Aksi teror di Kampung Melayu mengincar polisi.Aksi teror di Kampung Melayu mengincar polisi. (CNN Indonesia/Bisma Septalisma) Sementara itu, pemerhati terorisme sekaligus pemilik situs Arrahmah.com, Muhammad Jibriel Abdul Rahman, mengatakan ciri-ciri serangan di Kampung Melayu menunjukkan aksi itu terkait operasi global ISIS menjelang Ramadan.
“Ini worldwide war (perang global). Pemanasannya kemarin di Manchester, sekarang di sini, untuk menyambut Bulan Ramadan,” kata Jibriel saat berbincang dengan CNNIndonesia.com lewat sambungan telepon.
Ciri-ciri yang dia maksud, pertama, mulai dari penentuan target yang mengincar polisi. Berbeda dengan para pendahulunya, ISIS kerap mengincar polisi yang dianggap “murtad.”
Selain lebih mengutamakan musuh murtad ketimbang kafir, ISIS juga lebih khawatir dengan musuh dekat ketimbang musuh jauh, kata Jibriel. Karena itu, kelompok ini lebih memilih untuk menyerang institusi pemerintah seperti Kepolisian.
Selain itu, sasaran yang diincar pun bersifat acak. Serangan ISIS bisa dilakukan di mana saja, mulai dari jalanan, kantor pemerintahan, pos kepolisian, gereja, bahkan masjid. Selain itu, mereka juga tidak peduli apakah korban yang jatuh adalah umat Islam atau bukan.
“Mereka tidak peduli bahwa hal tersebut membawa dampak buruk bagi Islam dan kaum Muslimin, membawa penderitaan bagi korban dan keluarga korban yang nota bene adalah kaum Muslimin,” kata Jibriel.
Sumber :CNN Indonesia