Studi Kasus : Perpolisian Kelompok Suporter Viking dan Jakmania Pada Pertandingan Sepak Bola Persib dan Persija
Oleh : Kombes Polisi DR. Andry Wibowo
Pasca Sarjana, Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian
Abstrak
Pentingnya sebuah cara pandang suatu fenomena dalam sebuah insitusi akan sangat menentukan perilaku dari instrument pelaksanan institusi tersebut.
Pandangan yang berkembang di Kepolisian hari ini mengenai crowds adalah sejalan dengan apa yang dipikirkan Le Bon. Crowds dipandang sebagai sebuah ancaman yang terdiri dari sekelompok orang yang bertindak irrasional dan dapat berkembang. Penelitian ini berusaha mengeksplorasi bagaimana pengaruh pemikiran Le Bon dalam seni perpolisian yang dilakukan Kepolisian dengan mengangkat studi kasus pada perpolisian kelompok suporter Viking dan Jakania.
Kata kunci: crowds; Le Bon; perpolisian; power blocking
PENDAHULUAN
Penelitian ini dilakukan untuk mengeksplorasi strategi dan praktek perpolisian dalam mengelola crowds secara khusus pada kasus pertandingan sepak bola Persib Bandung dan Persija Jakarta. Penelitian ini dilatar belakangi oleh beberapa rasionalitas pemikiran akademik dan praktek perpolisian dalam penanganan suatu fenomena crowds khususnya pada event pertandingan sepak bola antara Persija dan Persib.
Pertama, bahwa crowds merupakan sekumpulan banyak orang, yang berkumpul dalam suatu lokasi tertentu dan secara bersama-sama dalam lingkungan, untuk selama periode waktu tertentu dan terukur, mereka mempunyai tujuan yang sama dan perilaku yang serupa dan berperilaku sesuai kelompoknya serta berinteraksi satu sama lain dalam sekumpulan orang (Rose Challenger.et.al.,2009).
Fenomena crowds tersebut dapat berdampak terhadap violence dan riot yang dapat menggangu keamanan dan ketertiban masyarakat yang penanganannya menjadi tugas pokok kepolisian.
Ke dua, fenomena crowd pada semua kegiatan yang melibatkan kerumunan orang tentunya berbeda baik dalam bentuk tujuan, ukuran, kegiatan, perilaku dan sikap sehingga dampak crowds terhadap gangguan keamanan dan ketertiban juga berbeda. Fenomena crowds pada pertunjukkan musik tentunya berbeda dengan crowds pada pertandingan sepak bola. Pada pertandingan sepak bola, crowds yang terdiri dari fans pendukung klub sepak bola jauh lebih sensitif perilaku karena didorong adanya fanatisme yang mudah menimbulkan konflik antar fans pendukung sepak bola.
Ke tiga, crowds pada pertandingan sepak bola antar klub di Indonesia pada umumnya sering berpotensi konflik sehingga berdampak terhadap keamanan dan kertertiban. Hal ini, tergambar pada beberapa pertandingan diantara lain, VIking dan Jakmania, pemilihan kasus pertandingan antara Persija dan Persib memiliki fenomena crowds yang unik dan menarik karena pertandingan pada kedua klub ini termasuk dalam katagori high risk match (dalam konteks rivalitas antar klub besar) yang beresiko tinggi dari sisi keamanan dan sudah menjadi patologi sosial yang besifat menahun.
Ke empat, pada kedua klub ini memiliki fans pendukung yang cukup besar, tersebar di dalam dan luar negeri, lintas struktur sosial dan budaya, fanatik dan solid yang disebut dengan Jakmania dan Viking, dimana dalam setiap pertandingan antara Persib dan Persija selalu menimbulkan kerusuhan, pengrusakan bahkan jatuhnya berbagai korban yang diakibatkan dari konflik tersebut.
Ke lima, kehadiran Jakmania dan Viking dalam fenomena pertandingan antara Persija dan Persib, serupa dengan fenomena hooliganis di Eropa yang merupakan supporter sepak bola di Inggris yang terkenal brutal dan telah menjadi fenomena global.
Seperti yang disampaikan oleh Report on Football Hooliganism in the Member State of the European Union tahun 2002 (Bagaspras.Wordpress) yang menyatakan bahwa hooliganism merupakan kelompok tindakan yang bersifat menyerang termasuk kekerasan terhadap orang, pengrusakan properti dan fasilitas, penggunaan alkohol dan narkoba, pencurian dan pemalsuan tiket pertandingan dan pada akhirnya menggganggu keamanan dan ketertiban dalam masyarakat.
Ke enam, secara umum pengelolaan dan pengamanan crowds merupakan salah satu problem yang berkaitan dengan fungsi dasar kepolisian di seluruh negara untuk mewujudkan keamanan, ketertiban dan keteraturan sosial (Tamara.D. and Johannes Knutsson, 2011), sehingga kajian terhadap fenomena crowds menjadi sangat relevan, penting dan strategis bagi usaha merumuskan praktek-praktek perpolisian, yang lebih didasarkan pada kajian empirik (research based policy).
Perpolisian yang efektif dan efisien sangat diperlukan dalam menciptakan keamanan dan ketertiban dalam lingkungan masyarakat yang kompleks, dinamis dan heterogen dalam menghadapi suatu situasi crowds.
Polisi harus beradaptasi dilapangan karena situsasi crowds kadangkala berubah begitu cepat, dan polisi dihadapi oleh keterbatasan sumberdaya dan informasi yang diterima.
Perpolisian dalam situasi crowds di era globalisasi dan teknologi informasi dan industrialisasi di berbagai bidang, yang menghadirkan kerumunan orang yang jumlahnya bervariatif dalam konteks menghadiri “event” seperti konser musik, protes, demonstrasi, pertandingan sepak bola dan sebagainya yang secara akademik telah menjadi topik penelitian yang menarik dan penting bagi kalangan akademisi berbagai disiplin ilmu di berbagai negara sejak akhir tahun 1990 (Kari Sari, 2009).
Berbagai “event” seperti tersebut diatas yaitu pertandingan sepak bola, konser musik dan sejenisnya merupakan industri yang telah berkembang pesat pada tingkat domestik, nasional maupun internasional sehingga perkembangan berbagai “event” (pertunjukan) berbanding lurus dengan peningkatan jumlah orang yang menghadirinya (Je’anna Lanza dan Abbot, 2001) dan juga berbanding lurus dengan problema-problema sebagai dampak dari kehadiran crowds.
Ke tujuh, perpolisian yang efektif dan efisien dalam menangani crowds yang hadir pada suatu “event” (kegiatan masyarakat) sangat penting dan bervariatif karena tergantung pada kontkes dan karakteristik suatu “event” dan jumlah orang yang menghadiri “event” tersebut. Pertandingan sepak bola adalah salah satu pertandingan yang unik yang menghadirkan crowds dengan karakter yang kompleks yang dilakukan oleh ribuan bahkan jutaan orang.
Sebagaimana yang dikatakan oleh (Jonas Havelund.et.al., 2013), bahwa pertandingan sepak bola telah mengakibatkan ketidakteraturan (public disorder) dan telah menjadi isu sosial dan politik di negara Scandinavian khususnya di Swedia dan Denmark.
Fokus perdebatan tentang masalah ini terkait dengan peran yang dimainkan oleh “hooligans” atau yang disebut sebagai troublemakers (Havelund.et.al. 2013). Sejak tahun 1970 penelitian akademis terhadap perilaku penggemar (fans) sepak bola telah banyak menghasilkan teori yang menjelaskan perilaku pendukung sepak bola, terutama di bidang-bidang ilmu sosiologi, kriminologi, psikologi, budaya, administrasi, politik dan ilmu kepolisian.
Namun demikian para peneliti juga berpendapat bahwa fenomena ini perlu dilihat dari fokus yang lebih luas terutama dalam hubungannya dengan kehadiran berbagai penonton yang mempunyai latar belakang atau profil yang sangat heterogen. Peneliti menyarankan pentingnya mengkaji fenomena “collective football violence” terutama terkait dengan dinamika antar kelompok dalam pertandingan sepak bola (C.Stott and G.Pearson, 2007).
Pembahasan tentang fenomena ini telah memperkenalkan pentingnya teori crowds dan implikasinya terhadap manajemen keteraturan publik (public order management) dalam konteks negara Scandanavian (Kari Sari, 2009). Teori crowds dianggap dapat membantu mencegah tingkat ketidakteraturan (disorder) dan membantu yang berwenang mengembangkan model atau strategi yang efektif dalam mencegah dampak crowds dalam pertandingan sepak bola terhadap keamanan dan ketertiban masyarakat.
Didalam mengeksplorasi fenomena ini, diperlukan perpolisian yang lebih efektif dan efisien dalam mengelola crowd untuk menciptakan keamanan, ketertiban dan keteraturan sosial didalam menghadapi crowd pada event tertentu.
Implikasi kerumunan orang crowd sering berujung pada kekerasan (violent), kerusuhan (riot) dan tindak kejahatan (crime), bencana (disaster), sehingga diperlukan perpolisian yang inovatif, strategis, efektif, efisien di dalam menangani fenomena ini.
Perspektif teori yang mengkaji tentang fenomena crowds akan dijadikan referensi untuk memahami berbagai dimensi kultural, sosial, tindak kekerasan dan kejahatan sebagai dampak crowds atau kerumunan orang (John M. Kenny et.al;2001 dalam Buku crowd Behavior, Crowd Control, and the Use of Non-Lethal Weapons) yang terkait perilaku crowd (crowd behavior).
Pada fenomena pertandingan sepak bola baik Indonesia maupun di luar negeri sering berujung kepada kerusuhan, kekerasan dan bahkan tindak kejahatan. Peristiwa yang diakibatkan oleh kerumunan orang (crowd) dalam pertandingan sepak bola tersebut telah sering menimbulkan gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat, rasa takut masyarakat (fear of crime) dan kerusuhan yang menimbulkan korban pada masyarakat dan kerugian materi (lihat Le Bon, 1896).
Oleh sebab itu berbagai perspektif teori manajemen sekuriti akan relevan digunakan untuk mengeksplorasi dan menganalisis serta menjelaskan berbagai fenomena yang terkait dengan crowds dan implikasi bagi perpolisian yang harus sesuai dengan fokus penelitian ini (A. Josias Simon Runturambi dan Dadang Sudiadi, 2013).
Perspektif teori dan pendekatan perpolisian yang lebih relevan, strategis dan inovatif terkait dengan fenomena penelitian ini akan dijadikan referensi untuk memperkaya analisis dan pembahasan temuan penelitian ini (Herman Goldstein, 1999).
Banyak pandangan terhadap perilaku crowds yang didasarkan streotypes yang tumbuh dikalangan akademis terdahulu dan mendominasi pandangan tentang perilaku crowds (Robert Park in 1930 dan Herbert Blumer, 1939 dalam John.M.Kenny et.al, 2004). Pandangan ini memperkuat keyakinan bahwa crowds adalah kesatuan massa yang perilakunya dapat dikategorikan aktif, ekspresif, dan bermusuhan.
Mereka juga berpandangan bahwa peserta crowds bersifat spontan, irasional, kehilangan pengendalian diri, dan memiliki rasa dan anonymity (Le Bon, 1896). Dari pemikiran Le Bon ini sedikit banyak sangat mempengaruhi bagaimana kepolisian sebagai institusi penjamin keamanan dan keteraturan dalam sebuah pengambilan kebijakan. Maka penelitian ini akan menggambarkan bagaimana pengaruh dari pemikiran (Le Bon, 1896) terhadap perilaku perpolisian di Indonesia khususnya pada perpolisian kelompok suporter Viking dan Jakmania.
METODE PENELITIAN
Metode penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode studi kasus pada konflik suporter Viking dan Jakmania pada Pertandingan sepak bola Persib dan Persija selama lima tahun terakhir (lihat Creswell, 2003).
Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara mendalam, pengamatan langsung maupun terlibat, focus grup discussion, expert panel discussion, serta studi dokumen selama lima tahun terakhir (Bogdan, 1992; Creswell, 2003;Sugiyono, 2007).
Dari hasil temuan lapangan, dianalisa dengan beberapa pustaka yang ada, akhirnya penelitian ini mengungkapkan bahwa crowds policing atau perpolisian kerumunan yang dilakukan oleh Polrestabes Bandung dan Polresta Surakarta melalui paradigma incident driven policing melalui mekanisme power blocking sebagai seni perpolisian yang efektif dalam menangani crowds
PANDANGAN LE BON MENGENAI CROWDS
Le Bon Membangun Teorinya tentang crowds di Perancis pada tahun 1890an di saat di daratan eropa banyak terjadi guncangan social dan banyaknya terjadi demonstrasi maupun pemogokan. (Le Bon, 1896) Memandang Crowds
“… By The Mere Fact That He Forms Part Of an Organized Crowds , a Man Descends several rungs in the ladder of civilization, isolated, he may be calculated individual, in a crowd he is barbarian , that is , a creature acting by instinct…”…. Le Bon Though that crowds were influenced by a process called “contagion” . Contagion refers to the process whereby “irrational” and violent feelings can spread through the member of a crowd”… (Le Bon, 1896)
Dari banyak fakta bahwa Le Bon memahami massa merupakan bagian dari dinamika perubahan peradaban pada saat itu, Le Bon, memandang bahwa di dalam masa individu dapat bertindak secara barbar . bahwa tindakan massa seperti ini dipengaruhi oleh suatu proses yang disebut dengan “contagion” dimana “irrasional “ dan kekerasan dapat menyebar secara cepat pada anggota massa. Lebih lanjut (Le Bon, 1896) Menyatakan
“… Crowds are primitive and irrational.because the individual members of the crowds become submerged within the mass present “ (Le Bon, 1896)
bahwa masa dapat bertindak secara primitif dan tidak rasional karena individu yang menjadi bagian dari massa dan dipengaruhi sikap dan tindakan karena adanya massa yang hadir….
“ They develop a sense of anonymity while they lose their responsibility . within this context , primodial instinct come to the fore. Crowds are inherently susceptible to suggestion , and it is easily for the leader of a crowd to unlock what le bon say “ ancestral savagery” and have the crowds act in violent ways… (Le Bon, 1896)
(Le Bon, 1896) menambahkan bahwa pada konteks massa, maka individual akan menjadi hilang identitas dirinya (de individualism), sehingga ia juga kehilangan tanggung jawab dan pikiran-pikiran dan tindakan premodial dikedepankan.
Hal ini memudahkan pemimpin massa membuka kunci kepribadian-kepribadian kuno berkaitan dengan brutalisme dan menjadikan individu pada crowds melakukan berbagai bentuk kekerasan (Le Bon, 1896). Sehingga dalam konteks inilah kemudian crowds adalah sesuatu yang selalu ditakuti “… The Crowds is always to be feared “(Le Bon, 1896).
Le Bon juga menyatakan bahwa crowds merupakan proses transisi dari individual psycology kepada crowds psycology dimana terjadi perubahan pada situasi crowds seseorang kehilangan jati dirinya dan melebur menjadi jati diri kelompok yang olehnya disebut “subject dari contagion”, contagion sendiri merupakan efek dari “suggestibility”.
Dalam perspektif sejarahnya crowds lahir dari suatu kondisi ketimpangan social yang terjadi di masyarakat yang merangsang mereka untuk melakukan “pemogokan (striking)”..Protes dan turun ke jalan sebagaimana dinyatakan oleh Elias Canetti
“…It is for the sake of equality that people become a crowd and they tend to overlook anything which might detract from it. All demands for justice and all theories of equality familiar to anyone who has been part of crowds” (Canetti, 1973).
Pandangan Elias Canetti ini seolah olah mendukung pandangan Le Bon tentang crowds dimana garis persamaan atau simpul-simpul pemikiran Caneti dan Le Bon adalah adanya sekumpulan orang bersama-sama , dimana karakter kepribadian individu seolah-olah hilang , menjadi bagian dari karakter kolektif (transformed to be one or homogenous body) yang isi pikirannya sama ( single headed collectively).
Pemikiran Le Bon tentang crowds meskipun pada kenyataannya menjadi titik tonggak dan menjadi kutub analisa bagi para ilmuwan dan praktisi dalam memahami crowds namun demikian secara kritis dan historis pemikiran Le Bon ini pun tidak luput dari pertentangan-pertentangan secara keilmuwan.
Harison Mark dalam bukunya Crowds and History, Phenomena In English menyatakan bahwa Teori Le Bon tentang crowds seolah olah menyingkirkan realitas sejarah bahwa crowds tidak selalu menakutkan dan berakhir dalam kekerasan yang oleh Le Bon diartikan sebagai tindakan irrasional dan bar-bar.
Sejarah di Inggris membuktikan bahwa crowds telah menjadi fenomena social di Inggris hampir 2 abad lamanya, crowds dapat dilihat pada berbagai kegiatan masyarakat kota di Inggris pada awal abad 19 seperti pertemuan politik oleh partai buruh yang di hadiri oleh lebih 150 ribu orang di London, Perayaan 50 Tahun Raja George yang dihadiri oleh 50 ribu orang di Liverpool, serta pesta balon di kota yang sama yang dihadiri 80 ribu orang, bahkan hampir sepertiga penduduk kota Manchester hadir pada kunjungan Henry Hunt pada tahun 1800 an.
Realitas tersebut menunjukkan bahwa kerumunan orang atau crowdsdapat berjalan secara damai dan rasional dimana massa berfikir rasional dan bergembira.sehingga dari realita itu Harison Mark menyatakan bahwa crowds dalam formasinya dapat berwujud pada berbagai kesempatan dan kegiatan misalnya even olah raga, perayaan-perayaan kemasyarakatan, kegiatan-kegiatan politik dan parlemen seperti pemilihan umum, pertemuan politik, kerusuhan dan amuk massa, sampai dengan parade militer dan hari hari nasional lainnya.
Dalam dimensi politik, crowds dapat dipahami oleh beberapa ilmuwan social sebagai bagian dari “social movement”, sebagaimana pandangan dari Eyerman dan Jamison yang menyatakan
“… the action of social movements are bearers of new ideas and have often been the sources of scientific theories, and of whole scientific fields, as well as a new political and social identities, as Example the rise of environment sciences of green sensitivity and green identities cannot be understood outside the actions of anti nuclear activism , road protesters and other collective act of opposition..” (Eyeman and Jamison, 1990).
Dari pandangan Eyerman dan Jamison ini secara jelas dinyatakan bahwa crowds juga menjadi bagian untuk memahami realitas social dalam bentuk gerakan social yang dapat menunjukkan kepada kita identitas social dan politik di dalam sekelompok orang di dalam masyarakat.
Seperti gerakan protes aktifis anti nuklir yang menunjjukan bahwa mereka memiliki indentitas social politik yang berbeda yang mereka dan kemudian kita pahami sebagai “aktifis hijau”.
Dalam contoh lainnya juga dapat kita lihat bahwa’ crowd’ merupakan bagian dari kekuasaan masyarakat dan kelompok oposisi untuk menunjukkan jati dirinya dan sebagai jalan untuk menunjukkan kritik dan protes serta tuntutan atas kondisi – kondisi social yang mereka rasakan memerlukan perubahan atau perbaikan.
Sejalan dengan pandangan (Eyerman dan Jamison, Hannah Arend, 1970) memberikan pandanganya bagaimana “kerumunan orang” atau “crowds’ memiliki kekuasaan (power), dimana arend percaya sepenuhnya bahwa kekuasaan selalu berbasis pada konsesus nilai bersama. Kekuasaan berkaitan dengan kemampuan manusia bukan hanya bertindak, tetapi bertindak secara bersama (in concert) kekuasaan tidak pernah milik individual, ia milik kolektif dan tetap berada dalam keberadaannya sepanjang kelompok menjalin hidup bersama.
Maka dari itu tidak lah heran unjuk rasa oleh sekelompok orang adalah bagian dari kekuasaan yang dimaksud oleh Hanah Arend.
Tentunya pandangan (Le Bon, 1896) tentang crowds mendapat berbagai tantangan dari pandangan-pandangn ilmuwan lain dalam memahami crowds sebagai mana di dalam tulisan pendahuluan dimana ilmuwan ilmuwan seperti Anthoni Gidens, Keller dan Calhoun, Kimball Young dan Contrills Yang memahami Crowds sebagai sesuatu yang tidak menakutkan , sesuatu situasi masyarakat yang damai sesuatau yang jauh dari kekerasan meskipun pada hal-hal tertentu adanya kesamaan yaitu berkumpulnya orang dalam jumlah tertentu karena adanya ransangan sehingga individu-individu yang berbeda kemudian menyatukan dirinya pada suatu tempat untuk melakukan tindakan yang sama missal menonton, berekspresi dan menyatukan dirinya dalam identitas tunggal yaitu crowds namun dalam kondisi rasional dan bukan irrasional sebagaimana (Le Bon, 1896).
(Le Bon, 1896) menyatakan dalam perspektif “crowd psycolgist” dan “self –styled social scientist bahwa karakter dari crowds itu sangat mengagumkan (awsome), Menakuktkan (terrifying), Brutal (Savage), berdasarkan insting (Instinctual),seperti binatang buas(bestial), tidak dapat diperkirakan (capricious) dan kekerasan (violent).
Selanjutnya dikatakan bahwa crowds adalah perwakilan dari evolusi regresi dari peradaban manusia.
Pada tahap akhir pembangunan manusia sebagai akses dari perilaku yang irasional. Ia juga mengklasifikan crowds pada 2 klasifikan yaitu heterogenous crowds yang cenderung anonimitas seperti “street crowds” dan homogenous crowds yang orang-orangnya cenderung dapat dikenal dan dipahami seperti perkumpulan agama, polisi, militer dan kelas-kelas social lainnya.
Selanjutnya dijelaskan bahwa tidak serta merta menyamakan “mob” dan crowds, dalam pemikirannya, bahwa crowds memiliki ciri ciri seperti mob (Mob – Like attitude) yaitu penularan ( infectious), agresive, dan tidak peduli dimana Le Bon cenderung menyebutnya sebagai fickle.
Meskipun pada perkembangannya pandangan Le Bon tentang crowds mendapatkan berbagai pertentangan, sehingga melahirkan berbagai teori baru yang berkaitan dengan crowds baik secara sosiologi, politik dan sejarah, pandangan Le Bon ini meskipun bersifat tendensius terhadap pemaknaan crowd secara umum namun pada konteks tertentu pandangan ini tidaklah usang dan masih relevan menjadi dasar bagi kajian-kajian ilmiah dan praktis dalam memahami crowds baik dalam dimensi sosiologis, politik dan sejarah.
Karena pada kenyataannya crowd sangatlah dinamis dan memiliki banyak pemaknaan tergantung pada konteks peristiwanya. Crowds bisa dapat dimaknai sebagai sesuatu yang menakutkan karena baying-bayang kekerasan kolektif yang tidak terkendali dan merusak ada padanya, tetapi di sisi yang lain crowds adalah sesuatu yang menyenangkan karena kegembiraan dapat dirasakan secara bersama.
Demikian pula dalam konteks hubungan crowds dengan politik, bagi kelompok dominasi yang menginginkan stabilitas dan anti terhadap gangguan, maka crowds dapat dimaknai sebagai ancaman dan kecenderungan teori dan pandangan (Le Bon, 1896) tentang crowds digunakan sebagai justifikasi dari tindakan coercive yang dilakukan oleh penguasa. Demikian pula sebaliknya dalam konteks demokrasi, crowds adalah salah satu jelmaan kekuasan politik bersama dari masyarakat untuk menyalurkan aspirasinya dan melakukan penekanan terhadap penguasa atas aspirasi-aspirasi yang diharapkan oleh masyarakat luas.
Sehingga crowds dalam konteks ini merupakan upaya kolektif untuk menempatkan kesetaraan antara penguasa dan masyarakat dalam memperbaiki kehidupan social yang lebih baik.
Dalam konteks kekerasan, meskipun pandangan Le Bon yang seolah-olah memahami kekerasan sebagai bagian yang tidak terlepaskan dari crowds, namun crowds pun dapat mentransformasi menjadi suatu bentuk kekerasan kolektif jika ada faktor-faktor pencetusnya (stimulus factors).
Faktor pencetusnya bisa lahir dari dalam diri crowds sendiri maupun dari luar crowds. Kekerasan oleh petugas keamanan yang berlebihan terhadap crowds dapat memicu transformasinya crowds menjadi agen kekerasan kolektif, sebaliknya tidak menutup kemungkinan crowds itu sendiri memiliki benih-benih kekerasan sebagai bagian dari budaya yang melekat pada crowds sehingga budaya kekerasan tersebut dapat dimunculkan oleh crowds setiap waktu dengan tujuan tujuan dan penyebabnya Ketika itu terjadi maka kembali kepada teori Le Bon , bahwa kekerasan kolektif yang terjadi pada crowds merupakan pencerminan dari hilangnya rasionalitas, hilangnya jati diri individu, hilangnya tanggung jawab karena adanya anonimitas, serta adanya kekerasan kolektif yang merupakan lahir dari apa yang disebutnya sebagai proses “contagion”.
PERPOLISIAN KELOMPOK SUPORTER VIKING DAN JAKMANIA
Dalam sejarah perpolisian di berbagai negara maju, paradigma lama dalam pola perpolisian yang lebih berorientasi reaktif dan “incident driven” sudah tidak sesuai menghadapi fenomena saat ini (David Weisburd, et.al, 2008.
The Effect of Problem-Oriented Policing on Crime and Disorder, The US Department of Justice). Suatu model perpolisian menggunakan paradigma baru membutuhkan anggota polisi lebih aktif di dalam mengidentifikasi masalah dan dapat mentargetkan pengurangan kejahatan dan ketidak teraturan pada tingkat akar rumput (Goldstein, 1979).
Paradigma baru perpolisian yang disebut Golstein (1979) sebagai “problem oriented policing” mendorong anggota kepolisian untuk memfokuskan kepada masalah bukan berorientasi kepada manajemen rutin yang dilakukan lembaga kepolisian. Dengan demikian penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan dan merumuskan strategi perpolisian dalam menghadapi perilaku kerumunan orang (crowd) sepak bola.
Polisi Indonesia pada hari ini sangat terpengaruh dengan bagaimana Le Bon memandang crowds. Hal ini dibuktikan dengan beberapa kondisi dilapangan terkait dengan praktik perpolisian yang terjadi.
Ada beberapa hal yang dapat menggambarkan bahwa terdapat pengaruh dari pemikiran (Le Bon, 1896).
Pertama adalah penumpukan dan pengerahan pasukan dalam sebuah area pengamanan terkait dengan potesnsi keramaian yang akan terjadi pada sebuah lokasi.
Terhitung pada lima tahun pertandingan yang digelar dengan melibatkan Persib maupun Persija selalu melebihi angka 1500 personil pengamanan yang terbagi dalam berbagai ring pengamanan (lihat tabel.1).
Jumlah in merupakan angka yang sangat besar mengingat pertandingan sepak bola merupakan event masyarakat yang cukup rutin digelar setiap tahun.
Dari sisi anggaran hal ini sangat jelas berpengaruh dimana jumlah anggran yang dikeluarkan akan sangat besar mengingat jumlah personil pengamanan yang sangat banyak. Harus terdapa sebuah sistem yang mampu menjamin adanya keamanan dan keteraturan tanpa melibatkan personil pengamanan yang banyak.
Dalam memandang sebuah crowds pada dasarnya dapat berbeda dari segi ukuran, komposisi, maksud dan tujuan serta perilakunya (Tony Narr. et.al., 2006). Police Management of Mass Demonstration : Identifying Issues and Successful Approache. Police Executive Research Forum. Washington. D.C. USA.
Selanjutnya dikatakan bahwa crowds ukuranya dapat kecil, besar dan bahkan jauh lebih besar dari apa yang diharapkan.
Kemungkinan kombinasi unsur tersebut hamper tidak terbatas, sehingga menciptakan berbagai kontingensi bagi lembaga penegak hokum harus mengidentifikasi dan mengatasinya secara efektip.
Apapun bentuk kontingensi tersebut, lembaga kepolisian harus mempertimbangkan 3 (tiga) isu-isu penting (Tony Narr.et.al.,2006) yaitu: 1) Crowd Control, yang didalamnya terdapat aspek Inteligent, Facilitation, Communication, Recognition, Formations. 2) Mass Arrests. 3) Use-of-Force.
Pada tabel.1 digambarkan bagaimana tinjauan atas rencana pengamana yang dilakukan kepolisian dalam mengatasi fenomena crowds pada pertandingan sepak bola yang melibatkan Persib dan Persija. Pengaruh pikiran (le bon, 1896) bahwa crowds merupakan sekelompok orang yang irrasional, termanifestasi dari bagaimana kepolisian tidak melibatkan komunikasi melalui aspek (Narr, 2006) dalam crowds control.
Lebih lanjut tidak jarang dalam praktiknya penahanan atas crowds yang melakukan tindakan diluar hokum pun terjadi. Ada relasi yang timpang antara Kepolisian dengan crowds yang ditangani dimana relasi ini sangat berpengaruh terhadap sebuah proses atau seni perpolisian yang terjadi hari ini. ***