Penjelasan Lengkap Kapolri Soal Bom Kampung Melayu

Tito Karnavian

JAKARTA, kabarpolisi.com – Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian menegaskan teror bom di halte Transjakarta Kampung Melayu murni teror yang dilakukan oleh jaringan besar teroris Bahrun Naim, cabang dari jaringan besar ISIS.

“Pelaku bom bunuh diri Kampung Melayu adalah jaringan sel Mudiriyah Bandung Raya yang dipimpin Jajang, yang berkaitan langsung dengan jaringan besar Bahrun Naim yang pernah melakukan bom Thamrin. Jaringan Bahrun Naim merupakan cabang dari ISIS yang memiliki paham Takfiri yaitu menegakkan ideologi kekhilafahan,” kata Tito kepada wartawan di Jakarta, Sabtu (27/5).

Mantan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menjelaskan, faham Takfiri mengajarkan para teroris untuk menyerang dua kelompok yang dianggap kafir yaitu Kafir Harbi dan Kafir Hardimi. Untuk kategori Kafir Harbi, polisi dianggap sebagai kafir yang melakukan penyerangan agresif terhadap teroris, Polisi dianggap sebagai antek-antek negara kafir karena negara ini dianggap sebagai negara kafir (thaghut) karena berbeda ideologi dengan teroris dan menentang kekhilafahan.

Kelompok kedua Kafir Hardimi, lanjutnya, itu merupakan semua muslim yang tidak sepaham dan tidak segolongan dengan mereka, sehingga kalau negara ini mereka kuasai kelompok muslim ini harus dihukum dan membayar denda.

Bahkan, sambungnya, penyerangan terhadap polisi oleh kelompok sel Mudiriyah Bandung Raya sudah dimulai sejak Desember 2016 tapi berhasil digagalkan polisi. Seperti misalnya, bom di Simpang 5 Senin berhasil digagalkan kemudian pelakunya ditangkap ketika bersembunyi di waduk Jatiluhur. Lalu, bom panci yang targetnya Mapolda Jabar dan pos polisi di Taman Pandawa, bom meledak prematur, dan pada akhirnya pelaku tertembak mati oleh polisi. Sebenarnya polisi juga sudah mendeteksi pelaku bom Kampung Melayu tapi mereka memahami sistem komunikasi pihak keplolisian.

BACA JUGA  Kepolisian Siapkan Strategi Optimal untuk Ops Lilin 2024 Natal dan Tahun Baru

“Waktu itu sudah terdeteksi nama pelaku bom bunuh diri Kampung Melayu dalam jaringan sel ini yaitu Ahmad Sukri dan Iwan. Namun mereka paham sistem komunikasi harus hati-hati untuk menghindari dideteksi polisi sehingga kemudian terjadilah bom bunuh diri Kampung Melayu,” kata Kapolri.

Selain itu, Tito juga mengungkapkan alasan dipilihnya Kampung Melayu sebagai sasaran teror, yakni karena ada pos polisi, karena target mereka polisi yang sedang bertugas yang disebut mereka kafir harbi. Tapi bagaimanapun, polisi punya tugas memberantas teroris dan melindungi masyarakat. Dam jika ada kelompok masyarakat yang mengatakan polisi kecolongan, bagi polisi dari 100 rencana teroris, 99 berhasil digagalkan, dan 1 meledak.

“Itu adalah kemenangan bagi polri, tetapi sebaliknya bagi teroris dari 100 rencana mereka, 99 gagal, 1 meledak adalah kemenangan mereka (Teori Adagium). Ketika Densus 88 berhasil melumpuhkan teroris di Tuban, kelompok masyarakat ini akan menganggap itu memang tugas polisi, tetapi ketika terjadi bom, polisi dianggap kecolongan,” sesalnya.

Untuk itu, Tito sangat menyesalkan munculnya opini dari kelompok yang tidak paham jaringan teroris ini sehingga muncul di media sosial bahwa ini rekayasa polisi dengan #bomnaga9. Karena, Sutradara Hollywood sehebat apapun tidak akan mampu merekayasa dan membunuh anggota polisi itu sendiri.

Tito mengakui bahwa peristiwa bom Kampung Melayu tidak seheroik bom Thamrin. Aksi heroik itu memunculkan keberanian masyarakat untuk mendukung polisi melawan teroris. Sementara di Kampung Melayu, publik hanya lihat korban setelah kejadian. Kelompok ini juga memiliki pendukung dengan kekuatan network sehingga bisa saja setelah kejadian, mereka melakukan counter dan propaganda untuk membuat ketakutan di masyarakat dan justru menyerang polisi dengan menganggap ini sebagai rekayasa polisi.

BACA JUGA  Sekda Jateng Minta Tim Saber Pungli Kawal Penyelenggaraan Pemerintahan yang Bersih

“Perang melawan teroris sesungguhnya adalah bagaimana memenangkan simpati publik yaitu publik tidak mentolerir teroris karena negara kita demokrasi. Sebaliknya publik yang mendukung aksi teroris adalah awal kerawanan suatu negara,” pungkasnya. (ceko/dewi)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.