Serangan Teroris di Surabaya, Pengamat : Presiden Harus Segera Terbitkan Perppu AntiTerorisme

Dewinta Pringgodani SH MH

SURABAYA, kabarpolisi.com– Merespons ledakan bom di tiga gereja di Surabaya, Pengamat hukum, politik dan keamanan Rr. Dewinta Pringgodani SH MH meminta pemerintah segera menuntaskan revisi Undang-undang Terorisme atau membentuk peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) antiterorisme.

“Undang-undang harus cepat dilakukan revisi. Bila perlu, Presiden membuat Perppu,” ujar Dewinta Pringgodani ketika dihubungi kabarpolisi.com tadi malam.

Dewi mengakui, polisi kesulitan untuk menindaklanjuti penyelidikan mereka dengan payung hukum yang ada saat ini.

“Polri pasti tahu ada sel teroris, tapi Polri tidak bisa menindak. Polri baru bisa bertindak kalau sudah jelas barang buktinya. Kasihan Polri. Padahal ancaman teroris sudah sangat mengancam masalah keamanan,” kata Dewi.

Menurut wanita cantik kelahiran Solo Jawa Tengah ini, penundaan penindakan oleh polisi adalah karena akibat payung hukum yang saat ini.

“Sebelum ada bukti permulaan yang cukup, tidak ada kewenangan untuk dilakukan penindakan. Ini yang berupaya diubah di UU Antiteror yang baru. Kalau tidak ada bukti yang cukup, sekarang tidak bisa diapa-apakan. Kalau dulu sebelum reformasi masih boleh, tangkap dulu baru buktikan. Kalau sekarang jadinya wait and see, jadinya delay,” kata Dewi.

Sebelumnya, Menteri Pertahanan (Menhan) Ryamizard Ryacudu juga meminta hal yang sama menyusul aksi teror di dalam Mako Brimob. Ia mendukung penuh keterlibatan TNI dalam memberantas terorisme di Indonesia, dalam revisi UU tersebut.

Dewi mengingatkan, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat mempercepat penyelesaian revisi Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (UU Terorisme).

Karena butuh payung hukum itu sangat penting untuk mencegah kasus-kasus terorisme.

“UU terorisme sekarang sifatnya responsif, jadi kalo belum bertindak tidak bisa ditangkap. Kami berharap petugas Polri diberikan kewenangan upaya preventif,” kata Dewi.

Menurut Dewinta Pringgodani, ketiadaan payung hukum itu membuat Polri maupun Densus 88 kesulitan untuk langsung menangkap sel-sel tidur terorisme meski pihak yang berwajib sudah mengetahui rencana mereka.

“Harapannya kalau sudah terafiliasi dengan salah satu (organisasi teroris) maka bisa ditangkap dan diproses. Kalau ada bahan peledak peluru tanpa izin bisa dikenakan UU terorisme. Tapi sekarang nggak,” lanjut Dewi.

Menjawab pertanyaan bagaimana mencegah terorisme, menurut Dewi, tugas tersebut sebenarnya sudah ada di Polri dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). “Program deradikalisasi itu ada di BNPT,” katanya.

Namun Dewinta Pringgodani meminta seluruh elemen masyarakat membantu pemerintah mencegah terorisme.

“Upaya paling mudah warga masyarakat harus mengenal tetangganya. Jangan cuek. Ketua RT juga pro aktif. Begitu juga program Sistem Keamanan Lingkungan harus digalakkan di tiap RT dan RW,” kata Dewi seraya mengingatkan tanggung jawab mencegah aksi terorisme tak bisa hanya dibebankan kepada Polri.

Muhammad Rizal Tanur

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.