Soal e-KTP, Yasonna Laoly akan Datangi KPK

Yasonna Laoly

JAKARTA, kabarpolisi.com – Hari ini, Senin (3 Juli 2017) Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Yasonna H. Laoly, akan datang ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), untuk menjelaskan kronologi terkait tuntutan yang dibacakan jaksa KPK terhadap terdakwa kasus e-KTP yakni mantan pejabat Kementerian Dalam Negeri, Irman dan Sugiharto.

“Saya akan datang jam 11 ke KPK, dimintai keterangan sebagai saksi oleh KPK,” ucap Yasonna melalui keterangan tertulis di Jakarta, Ahad 2 Juli 2017.

Politikus PDIP ini juga akan menjelaskan alasan yang membuatnya tak memenuhi panggilan KPK beberapa waktu lalu.

Yasonna menjelaskan dirinya tidak memenuhi panggilan KPK dalam pemeriksaan sebagai saksi kasus e-KTP bukan bermaksud mangkir. Penyebabnya karena ada jadwal kegiatan yang harus dia hadiri dalam kapasitasnya sebagai menteri.

“Saya sebagai warga negara yang baik siap dipanggil, datang, dan sebagai saksi akan saya sampaikan semua yang saya tahu soal kasus e-KTP kepada penyidik,” ujarnya.

Selain itu, Yasonna akan menjelaskan isi surat tuntutan yang menyebut dirinya berdasarkan keterangan tersangka kesaksian palsu atas kasus e-KTP, Miryam S. Haryani yang merupakan anggota DPR dari Fraksi Hanura yang menjadi anggota Komisi II DPR saat itu. Yasonna diduga ikut menerima uang dugaan korupsi proyek e-KTP.

Di persidangan kasus e-KTP, nama Yasonna dan sembilan orang Ketua Fraksi Komisi II DPR disebut masing-masing menerima duit US$ 1.500. Dalam keterangan tertulisnya, Yasonna mengaku kaget namanya telah dicatut dan disebut menerima pembagian uang proyek e-KTP.

Ia pun membantah tudingan tersebut. “Saya kaget mendengar nama saya dicatut dan dituduh menerima duit proyek korupsi e-KTP. Saya tidak pernah menerima dana tersebut dan tidak pernah berhubungan dengan para terdakwa dalam proyek e-KTP,” ujarnya.

BACA JUGA  Sekda Jateng Minta Tim Saber Pungli Kawal Penyelenggaraan Pemerintahan yang Bersih

Dalam kasus e-KTP, jaksa penuntut umum KPK meminta dua terdakwa, Irman dan Sugiharto, masing-masing dihukum 7 tahun dan 5 tahun penjara. Keduanya dinilai terbukti bersalah menyalahgunakan wewenang untuk memperkaya diri sendiri, orang lain, dan korporasi sehingga menyebabkan negara rugi Rp 2,3 triliun.

Editor : Erik Wirawan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.