DAERAH  

Penambangan Pasir di Lereng Gunung Merapi, Pengusaha Tambang dan Pengemudi Armada: Nderek Dawuh MWC NU

Foto bersama usai pertemuan pelaku usaha dan armada langsir penambangan pasir di Lereng Gunung Merapi, di Mranggen Village, Jumat (17/2) malam.

 

Kabarpolisi.Com  –  Magelang, Polemik penambangan pasir di Lereng Gunung Merapi masih terus bergulir pasca penghentian kegiatan dan pemutusan jalur pengangkutan.

Perkembangan terbaru, pengusaha tambang pasir dan pengemudi armada truk langsir yang memiliki kepentingan sama terhadap keberlangsungan penambangan pasir di Lereng Gunung Merapi, akhirnya mengadakan pertemuan Jumat (17/2) malam.

Pertemuan diinisiasi SPTI (Serikat Pekerja Transportasi Indonesia) dan sebagai pengundang Ketro dari GRAM (Gemah Ripah Armada Lokal Magelang) paguyuban yang mewadahi 200-an sopir armada lokal yang berbasis di Desa Bringin. Pertemuan berlangsung di kawasan Mranggen Village, Desa Mranggen, Kecamatan Srumbung, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, dari pukul 20.00 WIB sampai tengah malam. Semua pihak mencoba mencari titik temu pasca berhentinya operasi penambangan pasir di Lereng Gunung Merapi sejak setengah bulan lalu.

Aktivitas penambangan pasir di Lereng Gunung Merapi dihentikan menyusul demo Majelis Wakil Cabang Nahdlatul Ulama (MWC NU) Kecamatan Srumbung, pimpinan Gus Ahmad Bahakudin Syah didukung 17 kepala desa sekecamatan Srumbung, menuntut dihentikannya penambangan pasir di wilayah Kecamatan Srumbung pada Jumat, 3 dan 10 Februari 2023.

Beberapa tuntutan dari pihak MWC NU yang diwakili Gus Ahmad Bahakudin Syah dicoba diurai dan dibahas kemudian dicari jalan keluarnya dalam pertemuan tersebut.

Puluhan undangan yang hadir meliputi perwakilan pelaku usaha tambang, perwakilan armada truk, tokoh masyarakat, SPTI, dan pihak pemilik lokasi lahan tambang.

Dari pembicaraan yang berkembang, disepakati untuk diambil jalan tengah. Seluruh tuntutan masyarakat yang menyebabkan terhentinya penambangan pasir di Lereng Gunung Merapi akan disepakati bersama antara pihak penambang, pemilik truk armada, dan disaksikan tokoh masyarakat setempat.

Bahwa pertemuan ini salah satu ikhtiar bersama dalam rangka pemenuhan hak hidup masyarakat sektor tambang khususnya pelaku armada lokal yang sangat terdampak. Semangat kebersamaan dan saling menghormati, menghargai keinginan tokoh-tokoh masyarakat dalam tata kelola pertambangan menjadi landasan spirit pertemuan. Sehingga ke depan terwujud harmonisasi antara pelaku usaha dengan masyarakat lokal. Terlepas kegiatan pertambangan tersebut adalah ilegal, tetapi faktanya masyarakat lokal juga butuh penghidupan. Maka memang dibutuhkan kebijaksanaan dan kearifan semua pihak dalam memandang problem sumber daya alam Merapi,” kata Agus MS mewakili SPTI yang menginisiasi pertemuan tersebut.

Lebih lanjut dikatakan Agus MS prinsip perjuangan hak hidup pelaku usaha armada lokal sesuai garis perjuangan SPTI menjadi perhatian pihaknya.

“Itu sebabnya kenapa kami harus terlibat dalam dinamika pertambangan merapi, seharusnya ini menjadi PR pemerintah, nyatanya negara tidak hadir dalam konflik-konflik klise soal perebutan hak hidup yang besentuhan dengan masyarakat lokal,” lanjut Agus MS.

Menurut Agus MS, bentuk-bentuk pendampingan dan advokasi pelaku usaha tambang sektor armada transportasi akan terus dilakukan pihaknya. Sehingga keberadaan armada truk, baik komunitas maupun individu dapat sejajar dengan pihak-pihak lain.

Selama ini kan seolah-olah yang punya hak mengatur tata kelola tambang adalah penambang/pengusaha, misal dalam penentuan harga pasir, pelibatan atau partisipasi armada lokal sangat kecil, bahkan cenderung terabaikan. Padahal armada lokal harusnya menjadi garda terdepan turut serta melakukan kerja-kerja pengelolaan dan pengawasan,” tegas Agus MS.

Selain mewakili FSPTI, Agus MS juga merupakan aktivis Forum Rembug Merapi. Puluhan yang hadir dalam pertemuan kemudian membuat kesepakatan bersama. Antara lain: Edi Kebonpolo (ARM), Muslich (SPTI), Iskandar (SPR), Wahyu (perwakilan tambang bawah), Saryanto (Jrakah, Kaliurang, Srumbung, Budiono ( Ngargosoko, mewakili masyarakat Lampung/pemilik lahan), Yarko (penambang), Nursyaebani (Perusda), Gus Mad (tokoh masyarakat Ngablak) Gus Lilik, Ridwan (BB1) dan puluhan anggota GRAM yang dipimpin Ketro.

Ketro yang sudah bertemu dengan Gus Ahmad Bahakudin Syah menyampaikan kembali hasil pertemuannya, akhirnya disepakati bersama untuk mematuhi dan memenuhi keinginan Gus Ahmad Bahakudin Syah yang mewakili MWCNU Srumbung.

“Kesepakatan bersama ini nantinya akan dijadikan bahan untuk menyampaikan (sowan) ke Gus Ahmad Bahakudin Syah atas hasil pertemuan malam ini,” terang Ketro.

Ada enam butir kesepakatan hasil pertemuan di Mranggen Village, Jumat (17/2) malam meliputi:

1. Untuk persoalan DO (delivery order) agar tidak ada persaingan harga dan merugikan pihak penambang manual, maka harga DO disepakati tidak boleh di bawah harga DO manual, dengan rata-rata harga di semua lokasi, untuk umum Rp850.000, lokal Rp750.000;

2. Diupayakan setiap pelaku tambang melakukan pembatasan alat di setiap lokasi, dengan kalkulasi sebelum adanya penutupan tambang, alat berat di lokasi mencapai 30-an alat berat, disepakati pengurangan alat berat minimal 30%;

3. Melakukan penataan jam kerja armada pada jam sibuk (sekolah) terutama untuk akses jalan Srumbung steril pada pukul 06.00 s.d 07.00, untuk memberikan akses kenyamanan bagi pengguna umum, karena pada dasarnya jalan Srumbung adalah jalan umum;

4. Agar tercipta situasi kondisi yang dinamis di lokasi tambang dan rasa keadilan, maka armada truk lokal menjadi prioritas utama untuk didahulukan;

5. Pengawasan di atas akan dilakukan secara bersama, dan perlu dibentuk wadah komunikasi yang independen berupa paguyuban atau konsorsium sebagai alat komunikasi, pengawasan, dan konsolidasi seluruh pelaku usaha tambang di wilayah kecamatan Srumbung.

6. Sebagai wujud kepedulian terhadap masyarakat sekitar terutama masyarakat Srumbung bahwa penggalangan CSR berupa aksi sosial dan bantuan bantuan yang berupa dana pendidikan bagi anak tidak mampu/anak yatim, dana sosial, dan dana kebangkitan UMKM masyarakat sekitar, maupun bantuan spiritual/religiusitas berupa peningkatan dan pendalaman sarana ibadah menjadi acuan bersama bagi penambang untuk menyelesaikan persoalan kesenjangan ekonomi ini, lewat berbagai macam aksi. Baik berupa beasiswa anak-anak tidak mampu maupun bantuan sarana kesehatan (ambulance hotline 24 jam) yang diambilkan atau disisihkan dari hasil menambang di sekitar wilayah kecamatan Srumbung. Lewat sebuah organisasi bentukan bersama yang nama berserta visi misinya sedang digodok bersama tim perumus yang terdiri dari unsur penambang, SPTI, GRAM, maupun masyarakat sekitar.

Penambangan Pasir di Lereng Gunung Merapi, Pengusaha Tambang dan Pengemudi Armada: Nderek Dawuh MWC NU

POLEMIK penambangan pasir di Lereng Gunung Merapi masih terus bergulir pasca penghentian kegiatan dan pemutusan jalur pengangkutan.

Perkembangan terbaru, pengusaha tambang pasir dan pengemudi armada truk langsir yang memiliki kepentingan sama terhadap keberlangsungan penambangan pasir di Lereng Gunung Merapi, akhirnya mengadakan pertemuan Jumat (17/2) malam.

Pertemuan diinisiasi SPTI (Serikat Pekerja Transportasi Indonesia) dan sebagai pengundang Ketro dari GRAM (Gemah Ripah Armada Lokal Magelang) paguyuban yang mewadahi 200-an sopir armada lokal yang berbasis di Desa Bringin. Pertemuan berlangsung di kawasan Mranggen Village, Desa Mranggen, Kecamatan Srumbung, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, dari pukul 20.00 WIB sampai tengah malam. Semua pihak mencoba mencari titik temu pasca berhentinya operasi penambangan pasir di Lereng Gunung Merapi sejak setengah bulan lalu.

Aktivitas penambangan pasir di Lereng Gunung Merapi dihentikan menyusul demo Majelis Wakil Cabang Nahdlatul Ulama (MWC NU) Kecamatan Srumbung, pimpinan Gus Ahmad Bahakudin Syah didukung 17 kepala desa sekecamatan Srumbung, menuntut dihentikannya penambangan pasir di wilayah Kecamatan Srumbung pada Jumat, 3 dan 10 Februari 2023.

Beberapa tuntutan dari pihak MWC NU yang diwakili Gus Ahmad Bahakudin Syah dicoba diurai dan dibahas kemudian dicari jalan keluarnya dalam pertemuan tersebut.

Puluhan undangan yang hadir meliputi perwakilan pelaku usaha tambang, perwakilan armada truk, tokoh masyarakat, SPTI, dan pihak pemilik lokasi lahan tambang.

Dari pembicaraan yang berkembang, disepakati untuk diambil jalan tengah. Seluruh tuntutan masyarakat yang menyebabkan terhentinya penambangan pasir di Lereng Gunung Merapi akan disepakati bersama antara pihak penambang, pemilik truk armada, dan disaksikan tokoh masyarakat setempat.

“Bahwa pertemuan ini salah satu ikhtiar bersama dalam rangka pemenuhan hak hidup masyarakat sektor tambang khususnya pelaku armada lokal yang sangat terdampak. Semangat kebersamaan dan saling menghormati, menghargai keinginan tokoh-tokoh masyarakat dalam tata kelola pertambangan menjadi landasan spirit pertemuan. Sehingga ke depan terwujud harmonisasi antara pelaku usaha dengan masyarakat lokal. Terlepas kegiatan pertambangan tersebut adalah ilegal, tetapi faktanya masyarakat lokal juga butuh penghidupan. Maka memang dibutuhkan kebijaksanaan dan kearifan semua pihak dalam memandang problem sumber daya alam Merapi,” kata Agus MS mewakili SPTI yang menginisiasi pertemuan tersebut.

Lebih lanjut dikatakan Agus MS prinsip perjuangan hak hidup pelaku usaha armada lokal sesuai garis perjuangan SPTI menjadi perhatian pihaknya.

“Itu sebabnya kenapa kami harus terlibat dalam dinamika pertambangan merapi, seharusnya ini menjadi PR pemerintah, nyatanya negara tidak hadir dalam konflik-konflik klise soal perebutan hak hidup yang besentuhan dengan masyarakat lokal,” lanjut Agus MS.

Menurut Agus MS, bentuk-bentuk pendampingan dan advokasi pelaku usaha tambang sektor armada transportasi akan terus dilakukan pihaknya. Sehingga keberadaan armada truk, baik komunitas maupun individu dapat sejajar dengan pihak-pihak lain.

Selama ini kan seolah-olah yang punya hak mengatur tata kelola tambang adalah penambang/pengusaha, misal dalam penentuan harga pasir, pelibatan atau partisipasi armada lokal sangat kecil, bahkan cenderung terabaikan. Padahal armada lokal harusnya menjadi garda terdepan turut serta melakukan kerja-kerja pengelolaan dan pengawasan,” tegas Agus MS.

Selain mewakili FSPTI, Agus MS juga merupakan aktivis Forum Rembug Merapi. Puluhan yang hadir dalam pertemuan kemudian membuat kesepakatan bersama. Antara lain: Edi Kebonpolo (ARM), Muslich (SPTI), Iskandar (SPR), Wahyu (perwakilan tambang bawah), Saryanto (Jrakah, Kaliurang, Srumbung, Budiono ( Ngargosoko, mewakili masyarakat Lampung/pemilik lahan), Yarko (penambang), Nursyaebani (Perusda), Gus Mad (tokoh masyarakat Ngablak) Gus Lilik, Ridwan (BB1) dan puluhan anggota GRAM yang dipimpin Ketro.

Ketro yang sudah bertemu dengan Gus Ahmad Bahakudin Syah menyampaikan kembali hasil pertemuannya, akhirnya disepakati bersama untuk mematuhi dan memenuhi keinginan Gus Ahmad Bahakudin Syah yang mewakili MWCNU Srumbung.

“Kesepakatan bersama ini nantinya akan dijadikan bahan untuk menyampaikan (sowan) ke Gus Ahmad Bahakudin Syah atas hasil pertemuan malam ini,” terang Ketro.

Ada enam butir kesepakatan hasil pertemuan di Mranggen Village, Jumat (17/2) malam meliputi:

1. Untuk persoalan DO (delivery order) agar tidak ada persaingan harga dan merugikan pihak penambang manual, maka harga DO disepakati tidak boleh di bawah harga DO manual, dengan rata-rata harga di semua lokasi, untuk umum Rp850.000, lokal Rp750.000;

2. Diupayakan setiap pelaku tambang melakukan pembatasan alat di setiap lokasi, dengan kalkulasi sebelum adanya penutupan tambang, alat berat di lokasi mencapai 30-an alat berat, disepakati pengurangan alat berat minimal 30%;

3. Melakukan penataan jam kerja armada pada jam sibuk (sekolah) terutama untuk akses jalan Srumbung steril pada pukul 06.00 s.d 07.00, untuk memberikan akses kenyamanan bagi pengguna umum, karena pada dasarnya jalan Srumbung adalah jalan umum;

4. Agar tercipta situasi kondisi yang dinamis di lokasi tambang dan rasa keadilan, maka armada truk lokal menjadi prioritas utama untuk didahulukan;

5. Pengawasan di atas akan dilakukan secara bersama, dan perlu dibentuk wadah komunikasi yang independen berupa paguyuban atau konsorsium sebagai alat komunikasi, pengawasan, dan konsolidasi seluruh pelaku usaha tambang di wilayah kecamatan Srumbung.

6. Sebagai wujud kepedulian terhadap masyarakat sekitar terutama masyarakat Srumbung bahwa penggalangan CSR berupa aksi sosial dan bantuan bantuan yang berupa dana pendidikan bagi anak tidak mampu/anak yatim, dana sosial, dan dana kebangkitan UMKM masyarakat sekitar, maupun bantuan spiritual/religiusitas berupa peningkatan dan pendalaman sarana ibadah menjadi acuan bersama bagi penambang untuk menyelesaikan persoalan kesenjangan ekonomi ini, lewat berbagai macam aksi. Baik berupa beasiswa anak-anak tidak mampu maupun bantuan sarana kesehatan (ambulance hotline 24 jam) yang diambilkan atau disisihkan dari hasil menambang di sekitar wilayah kecamatan Srumbung. Lewat sebuah organisasi bentukan bersama yang nama berserta visi misinya sedang digodok bersama tim perumus yang terdiri dari unsur penambang, SPTI, GRAM, maupun masyarakat sekitar.

 

Sumber :Hallo!Jakarta

Editor    : Tim Red

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.