Fadel : Peran Middleman Pangan Rugikan Masyarakat

JAKARTA, kabarpolisi.com – Ketua Umum Masyarakat Agraria dan Agroindustri Indonesia (MAI) Fadel Muhammad menyebut posisi perantara (middleman) dalam rantai bisnis pangan mampu merugikan masyarakat. Yang dimaksud dengan perantara adalah orang atau perusahaan yang menghubungkan aliran barang dari produsen ke konsumen akhir dan konsumen industrial.

Seperti dilansir CNN Indonesia mantan Menteri Kelautan dan Perikanan mengatakan, jika berkaca pada kasus penggerebekan gudang beras PT Indo Beras Unggul di Bekasi secara umum dalam bisnis pangan, middleman dapat meraup untung di atas normal. Bahkan untuk sembilan komoditas pangan strategis para pelaku bisa meraup Rp463 triliun setahun.

“Ini angka fantastis. Sembilan komoditas pangan itu beras, jagung, bawang merah, cabai, gula, daging sapi, daging ayam, telur, dan minyak sawit. Posisi petani sebagai price-taker memperoleh harga rendah dan profit marjin petani sekitar Rp105 triliun, sedangkan para pedagang atau middleman memperoleh marjin Rp463 triliun. Middleman telah berperilaku parasit terhadap petani. Di sisi lain middleman ini juga menghisap konsumen. Konsumen menanggung harga mahal senilai Rp1.320 triliun,” ungkap Fadel, Minggu (23/7).

Fadel menjelaskan dalam tata niaga pangan ini juga terjadi anomali pasar yang telah berlangsung lama karena pada puncak piramida bisnis pangan struktur pasarnya cenderung oligopolistik, meskipun di tingkat petani struktur pasarnya sudah demokratis. Pengusaha pangan besar memanfaatkan kelemahan sistem logistik dan distribusi yang belum efisien dan rantai pasok terlalu panjang.

“Struktur pasar dan perilaku pasar belum adil dan seimbang, sehingga terlihat nyata tingginya disparitas harga antara di produsen dan konsumen,” jelasnya.

Fadel pun menjelaskan secara rinci tata niaga beras. Menurutnya, untuk memproduksi padi 79,3 juta ton gabah kering giling atau 46,1 juta ton beras setahun diperlukan biaya sekitar Rp278 triliun dan petani memperoleh marjin Rp65,7 triliun. Sedangkan pada sisi hilir, konsumen membeli beras kelas medium rerata saat ini Rp10.582/kg setara Rp488 triliun, dan bila konsumen membeli beras premium maka angkanya jauh lebih tinggi lagi.

“Sementara pedagang perantara atau middleman setelah dikurangi biaya processing, pengemasan, gudang, angkutan dan lainnya memperoleh profit marjin Rp133 triliun,” terangnya.

Fadel menekankan distribusi profit marjin antar pelaku ini jelas tidak berkeadilan. Pasalnya, keuntungan produsen Rp 65,7 triliun ini jika dibagi kepada 56,6 juta anggota petani dari 14,1 juta rumah tangga petani padi, maka setiap petani hanya memperoleh marjin Rp 1 hingga 2 juta/tahun. Sementara setiap middleman menikmati ratusan juta setahun jauh di atas profit normal, sedangkan konsumen dirugikan menanggung harga tinggi.

“Ini tidak adil dan berimbang karena profit petani sangat tipis dari jerih payah di sawah disengat matahari selama 120 hari dari tanam hingga panen padi, belum lagi risiko gagal panen, sementara middleman sebagai avalis meraup untung besar dalam waktu singkat dan minim risiko,” tegasnya.

Oleh karena itu, Fadel menegaskan agar petani jangan dijadikan sebagai objek dan dikorbankan. Akan tetapi, petani harus diciptakan keseimbangan manfaat wajar antar pelaku, sehingga petani memperoleh harga dan marjin yang layak, middleman mendapat normal profit dan konsumen menikmati harga lebih murah.

“Ya, hitung-hitungan solusinya adalah dengan cara menggeser marjin yang dinikmati middleman semula Rp133,4 triliun menjadi Rp21,6 triliun, sebagian marjin digeser ke petani padi dan sebagian ke konsumen,” tegasnya.

Lanjut Fadel, harga beras di petani diangkat menjadi Rp7.800/kg, sehingga marjin petani semula Rp65,7 triliun naik menjadi Rp82,6 triliun. Selanjutnya harga di konsumen semula Rp10.582/kg dikendalikan dengan kebijakan harga Acuan Atas Rp9.000/kg sehingga mereka surplus Rp90 triliun. Pada kondisi ini middleman masih tetap memperoleh profit normal dan terwujud distribusi marjin yang adil.

“Ya sebenarnya harga beras medium saat ini Rp10.500an/kg termasuk harga tinggi sebab dibentuk dari struktur pasar dan perilaku pasar pangan saat ini yang belum adil dan seimbang. Mengacu Peraturan Menteri Perdagangan 47/2017 dengan harga acuan atas sebesar Rp9.000/kg, ya Harga Eceran Tertinggi (HET) ini sudah layak dan wajar antar pelaku,” jelasnya.

Selanjutnya Fadel mengungkapkan, hal ini harus ada solusinya. Pertama, melarang penimbunan beras dan mengeluarkan stok beras di gudang-gudang minimal 50 persen. Kedua menekan disparitas harga beras di produsen dan di konsumen. Ketiga, memperlancar arus distribusi pangan. Saat ini Satgas Pangan dan KPPU sedang bekerja dan mari kita dukung untuk mewujudkan sistem tata niaga pangan yang sehat.
Lihat juga:
Pakar Sebut Tak Ada Beras Murni Dijual di Pasar
“Untuk mengatasi disparitas pangan, perlu kebijakan alternatif yang bersandar pada konstitusi khususnya pasal 33 UUD 45. Negara harus melakukan intervensi terbatas guna menghilangkan sumber distorsi bisnis pangan, terutama perilaku parasit pengusaha besar. Kebijakan tata kelola sektor pertanian harus ditata ulang agar petani beroleh keadilan dan mampu berpendapatan” pungkas Fadel.

Sementara itu, Kepala Subbidang Data Sosial-Ekonomi pada Pusat Data dan Sistem Informasi, Kementerian Pertanian (Kementan), Ana Astrid mengatakan negara dirugikan akibat perilaku pelaku usaha middleman di atas. Negara berupaya keras mendorong peningkatan produksi dengan anggaran besar, agar hasilnya dinikmati petani dan konsumen.

“Namun di satu sisi ada pelaku usaha middleman membeli beras dari petani, kemudian diolah sedemikian rupa menjadi premium dan dijual harga tinggi kepada konsumen. Tidak ada distribusi keuntungan wajar antar pelaku. Akibatnya, terjadi disparitas harga tinggi, marjin yang mereka peroleh tinggi bisa 100 persen, petani menderita dan konsumen menanggung harga tinggi,” tegas Ana. (rizal)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.