Oleh : Derek Manangka
JAKARTA – Munculnya ancaman CEO Freeport McMoran, Richard C.Adkinson bahwa pihaknya akan menggugat pemerintah Indonesia di Arbitrasi Internasional, harus dilihat sebagai sebuah tekanan dan ancaman. Dan tekanan serta ancaman itu tidak hanya ditujukan kepada rezim pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Tapi skaligus kepada seluruh rakyat dan bangsa Indonesia.
Ancaman itu juga menunjukkan betapa arogannya perusahaan kaya raya seperti Freeport McMoran terhadap Indonesia. Walaupun kekayaannya itu berkat kerukan dan mungkin curian dari kekayaan bumi Indonesia.
Dengan penyedotan tanpa kendali selama hampir 50 tahun, kini Freeport McMoran berbalik mau “mengkudeta”, minimal mendikte kekuasaan di Indonesia.
Negara berdaulat Indonesia, diperlakukan oleh Richard Adkinson seperti orangtua angkat yang yang sedang tidak produktif. Dia lupa akan jasa orangtua angkatnya yang telah menjadikannya seorang yang sukses.
Richard Adkinson, ibarat seorang anak angkat tertua, meminta kepada ayah dan ibu angkatnya untuk segera membagi warisan keluarga. Kalau tidak, dia akan berbuat sesuatu yang merugikan keluarga.
Itulah prilaku rakus dari Freeport McMoran yang direpresentasikan oleh CEO-nya.
Ancaman terhadap Indonesia itu sepertinya diperhitungkan secara matang, kapan harus dikeluarkan. Freeport memilih saat ini, dimana kepemimpinan Joko Widodo menghadapi banyak masalah atau perlawanan.
Freeport tentu melihat akuntabilitas dan posisi rezim Joko Widodo sedang di pinggir tebing. Kekuatan oposisi yang ingin melengserkannya, relatif memiliki pengaruh. Rezim Jokowi butuh investor asing.
Secara internal, soliditas di antara sesama anggota kabinet dan pendukung Joko Widodo, belum cukup ideal atau singkatnya masih bermasalah.
Sehingga ancaman itu sengaja dikeluarkan untuk menimbulkan masalah baru.
Dan yang tersirat, seolah-olah tanpa Freeport, Indonesia akan hancur. Seakan-akan, nasib Indonesia berada di tangan perusahaan tambang tersebut. Juga tersirat, Adkinson seperti menunjukan bahwa ia mewakili kekuatan Amerika.
Tekanan yang tersirat, kalau Jokowi melawan, maka Freeport di Papua, akan ditutup. Dan itu berarti Jokowi akan menerima resiko yang ditimbulkan oleh penganggguran baru sebanyak 33 ribu karyawan di PT Freeport Indonesia.
Inilah mungkin enerji negatif yang sedang disebar oleh CEO Freeport McMoran.
Atau kalau Indonesia bersikap keukeuh kepada pendirian nasionalismenya, maka perusahaan ini akan menggunakan kekuatannya untuk “menghancurkan” Indonesia atau NKRI.
Penghancuran bisa berbentuk seperti yang terjadi di Syria. Dimana gara-gara bisnis energi perusahaan Amerika, tidak diterima pemerintah Syria, lalu Presiden Bashar Assad, diganggu oleh pemberontak. Para pemberontak didanai oleh (perusahaan) Amerika.
Itulah yang tersirat dari ancaman Richard Adkinson.
Kalau sudah begitu keadaannya, tidak ada kata mengalah atau kompromi dengan Freeport McMoran. Indonesia harus melawan.
Sepatutnya, siapapun yang masih merasa sebagai warga negara Indonesia harus melawan tekanan dan arogansi perusahaan multi nasional tersebut.
Tak peduli apakah warga atau kelompok yang ada di Nusantara sedang berseberangan dengan rezim Joko Widodo. Singkirkan perbedaan dan posisi berseberangan itu kemudian satukan langkah untuk menghadapi Freeport sebagai “musuh bersama bangsa Indonesia”.
Mari kita lawan Freeport dengan martabat.
Dalam rangka itu, pemerintahan Joko Widodo bisa memulai dengan mencekal Richard Adkinson.
Atau siapapun warga asing yang menekan Indonesia, tidak boleh masuk ke wilayah Indonesia.
Ingat, Thailand saja bisa tegas kepada pihak asing. Padahal urusannya soal yang sepele.
Siapapun yang menulis secara negatif atau sinis tentang tentang “Patpong” lokasi prostitusi di Bangkok, ibukota negara itu, tak akan pernah diizinkan oleh otoritas negara Thailand menginjakkan kakinya di bumi Thailand.
“Patpong”, disebut-sebut merupakan lokalisasi prostitusi terbesar di Bangkok bahkan terpopuler di Asia Tenggara. Kehadiran “Patpong” memberikan penghidupan bagi sebagian kecil rakyat Thai.
Sementara tekanan dan ancaman Adkinson harus dilihat lebih dari persoalan “Patpong”.
Pesan khusus kepada para pihak yang tidak menyukai Joko Widodo sebagai Presiden RI. Yaitu, boleh jadi persatuan bangsa Indonesia untuk melawan Freeport, akan berimbas positif bagi porto folio politik Presiden Joko Widodo.
Artinya yang merugi pihak oposisi. Tak masalah sebenarnya, kalau akhirnya hal tersebut positif pada dasaernya bermanfaat bagi masa depan Indonesia.
Karena jauh lebih baik Indonesia dipresideni oleh warga Indonesia dari pada didikte oleh seorang CEO perusahaan asing.
“Seburuk-buruknya” agenda Joko Widodo tentang Indonesia – kalau tokh agenda itu ada, jelas lebih buruk agenda dari seorang CEO Freeport McMoran.
Freeport pasti tidak punya perasaan memiliki terhadap Indonesia. Boro-boro memiliki, mikirin tentang persoalan Indonesia saja, belum tentu ada.
Itu sebabnya ancaman CEO Freeport McMoran itu harus ditanggapi secara tegas, lugas, proporsional dan terukur.
Presiden Joko Widodo sendiri harus meyakinkan para pembantu dan pendukungnya. Bahwa ancaman Freeport, sama dengan sebuah pelecahan bangsa Indonesia.
Presiden Joko Widodo perlu meniru cara Presiden Soeharto ketika menolak konsorsium IGGI, (Inter Govermental Group on Indonesia) pada tahun 1992.
Gara-gara sikap arogan Ketua IGGI Jan Prok dari Belanda, Soeharto tersinggung dan langsung memutuskan Indonesia keluar dari keanggotaan di IGGI.
“Indonesia tidak butuh bantuan luar negeri dari IGGI”, demikian para pembantu Soeharto bersuara koor ketika itu.
Kedengarannya klise.Tapi hasilnya, Indonesia akhirnya dirangkul kembali, dibujuk menerima CGI (Consultative Group on Indonesia), konsorsium baru pengganti IGGI, tanpa Belanda.
Padahal konsorsium IGGI merupakan gabungan dari semua negara industri terkemuka di dunia. Termasuk Bank Dunia dan IMF yang sudah membantu Indonesia selama hampir 30 tahun.
Negara-negara industri tersebut termasuk Amerika Serikat, negara asal Freeport McMoran.
Keputusan Soeharto keluar dari IGGI itu memang menjadi “legacy”nya. Merugikan para penentangnya.
Tapi wibawa Indonesia terselamatkan. Soeharto kemudian dilihat sebagai penerus visi Soekarno yang tidak mau didikte Barat.
Bahwa akhirnya kasus IGGI menjadi pemicu negara-negara Industri (baca Barat) kemudian mulai memasang ranjau bagi penguasa Orde Baru tersebut, itu persoalan tersendiri.
Atau bila perlu Presiden Joko Widodo juga meniru cara Presiden Soekarno. Dimana pada tahun 1956, ia berani menasionalisasi semua perusahaan Belanda di Indonesia.
Nasionalisasi Presiden Soekarno melahirkan perusahaan seperti Pertamina, Garuda dan perusahaan ekspor impor dan perusahaan perkebunan lainnya.
Padahal kemampuan putera-putera Indonesia dalam mengelolah perusahaan-perusahaan tersebut, masih sangat terbatas.
Pesan moralnya, Freeport pun bila perlu diambil secara “hostile” ala Presiden Joko Widodo. Dan alasannya cukup kuat. Dengan menggunakan UUD 45 sebagai rujukan. Bahwa bumi dan segala isi kekayaannya harus digunakan sebaik-baiknya oleh negara bagi kepentingan seluruh rakyat Indonesia.
Langkah lain, pemerintahan Joko Widodo tak perlu malu untuk meminta dukungan dari seluruh kekuatan yang ada di tanah air.
Jika belakangan ini Joko Widodo seperti terkesan bermusuhan atau dimusuhi Habib Rizieq Shihab, atasilah persoalan tersebut. Ajaklah dia bersatu dan berjihad menghadapi tekanan Freeport.
Juga tak perlu sungkan meminta SBY, mantan Presiden RI yang dikenal cukup dekat dengan lobi Amerika.
Kalau sudah diajak, tapi Rizieq dan SBY tetap tidak mau, tak masalah. Yang penting jangan hadapi Freeport dengan mengandalkan kekuatan sendiri.
Rasa-rasanya jika SBY diajak untuk menyatukan kekuatan menghadapi investor asing yang demikian arogan, sebagai seorang prajurit dan sapta margais, hati nuraninya akan luluh dan akhirnya menerima ajakan tersebut.
Pernyataan Adkinson disebut sebagai sebuah ancaman sebab isinya memberi ultimatum kepada pemerintah RI selama 4 bulan.
Wow, sombong amat. Emangnya dia (ente) siapa? Berani-beraninya.
Kata dia, Jika selama waktu 120 hari itu pemerintah Indonesia tidak meluluskan keinginan Freeport McMoran (kantor pusat Freeport di Amerika), maka perusahaan swasta itu akan menggugat Indonesia di pengadilan dagang internasional atau Arbitrasi Internasional.
Kita tidak perlu takut, sebab kalau terjadi perselisihan pihak yang pertama kali rugi adalah Freeport sendiri.
Saham Freeport di lantai bursa Wall Street, New York pasti akan turun, bahkan bisa anjlok dan hancur. Kekayaan yang dikumpulkan para pemegang saham mayoritas akhirnya kembali ke titik minus.
Sementara deposit tambang milik Indonesia yang masih dikelola Freeport di pulau Papua, tak akan berubah. Tidak hancur. Deposit itu tak akan basi seperti makanan. Deposit di Tembagapura, Papua, tetap akan punya nilai dan harga sepanjang masa.
Buktikan, dengan tekad melawan Freeport McMoran, Indonesia memang negara besar dalam arti yang sebenarnya.
Ayo bangsa Indonesia, dimana dadamu, dimana martabatmu ?. Haruskah kita takut pada ancaman dari seorang CEO ?
*) Wartawan Senior