KPK : Gubernur Aceh Sudah Beberapa Kali Terima Suap

Basaria Panjaitan

JAKARTA, kabarpolisi.com – Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Basaria Panjaitan menduga Gubernur Aceh Irwandi Yusuf telah beberapa kali menerima suap terkait penggunaan Dana Otonomi Khusus Aceh (DOKA).

Irwandi diduga meminta jatah sebesar Rp1,5 miliar terkait ijon proyek-proyek pembangunan infrastruktur yang bersumber dari DOKA tahun anggaran 2018.

“Ini tidak tahap pertama lagi, menurut informasi sudah tahap yang bagian dari Rp1,5 miliar yang menjadi fee yang diberikan ke tingkat provinsi,” kata Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan dalam jumpa pers di Gedung KPK, Jakarta, Rabu (4/7).

Dana Otsus Aceh untuk tahun ini sebesar Rp8,03 triliun. Menurut Basaria, dana tersebut diberikan ke pemerintah provinsi dan kemudian disalurkan kepada 23 kabupaten/kota yang ada di Tanah Rencong.

Basaria mengatakan pihaknya menduga setiap anggaran untuk proyek yang dibiaya dari DOKA dipotong 10 persen, 8 persen untuk pejabat di tingkat provinsi dan 2 persen pejabat di tingkat kabupaten. Menurut Basaria, pemberian kepada Irwandi disinyalir bagian dari fee 8 persen tersebut.

“Pemberian kepada gubernur dilakukan melalui orang-orang dekat gubernur Aceh dan bupati Bener Meriah yang bertindak sebagai perantara,” ujarnya.

Dalam kasus ini, Irwandi diduga menerima Rp500 juta, yang merupakan bagian dari jatah Rp1,5 miliar, dari Bupati Bener Meriah Ahmadi. Uang Rp500 juta, kata Basaria diduga bersumber dari pengusaha yang mendapat proyek di Kabupaten Bener Meriah.

“Sumber uang dari Bupati Bener Meriah ini menurut informasi dikumpulkan dari beberapa pengusaha di sana, ini masih pengembangan,” kata dia.

Sebelumnya, Basaria menyatakan pihaknya menemukan indikasi bancakan yang dilakukan oleh Irwandi dan oknum pejabat di Aceh, baik tingkat provinsi maupun kabupaten/kota terhadap DOKA tahun anggaran 2018.

BACA JUGA  Kuasa Hukum Korban Minta Pelaku Kekerasan Seksual di Pondok Pesantren Magelang Dijadikan Tersangka

“Dana Rp8 Triliun yang seharusnya menjadi hak masyarakat Aceh justru menjadi bancakan dan dinikmati sebagian oknum pemerintah Aceh,” kata dia.

KPK telah menetapkan Irwandi, Ahmadi serta dua orang swasta Hendri Yuzal dan Syaiful Bahri sebagai tersangka suap. Irwandi, Hendri, dan Syaiful diduga sebagai penerima suap, sementara Ahmadi sebagai pemberi suap.

Berdasar hasil penyidikan sementara, KPK menyatakan mantan juru runding Gerakan Aceh Merdeka itu mematok jatah tertentu dari setiap proyek dibiayai Dana Otsus dengan jumlah Rp8 triliun.

“Diduga dari pemberian tersebut merupakan bagian dari commitment fee delapan persen, yang menjadi bagian untuk pejabat pemerintah di Aceh dari setiap proyek yang dibiayai dari dana DOKA,” kata Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan

Menurut Basaria, uang suap itu diberikan kepada Irwandi melalui orang-orang dekatnya. Dia curiga hal ini bukan yang pertama kali terjadi.

“Tim masih mendalami dugaan penerimaan-penerimaan sebelumnya,” ujar Basaria.

Menurut Basaria, seharusnya Dana Otonomi Khusus Aceh 2018 dipergunakan untuk kepentingan penduduk setempat. Seperti pembangunan jalan, pengentasan kemiskinan dan pemberdayaan ekonomi masyarakat, pendidikan, sosial, serta kesehatan. Namun, Irwandi malah meminta uang panjar (ijon) terkait proyek-proyek pembangunan infrastruktur bersumber dari dana otonomi khusus itu.

Setelah diperiksa intensif, Basaria menyatakan KPK meningkatkan status perkara ke penyidikan dan menetapkan empat orang sebagai tersangka. Yaitu IY (Irwandi Yusuf), HY (Hendri Yuzal), dan TSB (Syaiful Bahri) sebagai penerima dan AMD (Bupati Bener Meriah Ahmadi) sebagai pemberi.

KPK menyatakan Irwandi, Hendri Yuzal, dan Syaiful Bahri sebagai penyelenggara negara dan penerima suap dijerat dengan pasal 12 huruf a atau pasal 11 Undang-Undang 31/1999 yang diubah Dengan UU 20/2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

BACA JUGA  Kuasa Hukum Korban Minta Pelaku Kekerasan Seksual di Pondok Pesantren Magelang Dijadikan Tersangka

Sedangkan Ahmadi sebagai pemberi dijerat dengan Pasal 5 ayat (1) huruf a atau huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.(Tata)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.