Oleh: Reza Vahlevi*)
Mutasi dan promosi para jenderal pada awal tahun 2020 oleh Mabes Polri, menjadi titik awal dari tulisan ini.
Fokusnya adalah tentang penempatan Irjen Pol. Drs. Wahyu Widada, M. Phil sebagai Kapolda Aceh.
Awalnya banyak pihak yang membawa rasa skeptis (ragu) terhadap pria yang sebelumnya menjabat Kapolda Gorontalo ini.
Bukan tentang kecerdasan dan kepiawaiannya.
Kalau itu, tentu tidak ada yang meragukannya, karena Wahyu Widada adalah peraih Adhi makayasa tahun 1991 ini.
Tapi ihwal yang menjadi keraguan adalah karena rekam jejak Sang jenderal ini belum pernah bertugas di Bumi Serambi Mekkah.
Padahal, kebiasaan Mabes Polri sebelumnya selalu menempatkan sosok yang pernah bertugas di Aceh untuk menjad pemimpin Polri di Tanah Rencong.
Namun, seiring waktu berjalan, skeptisme ini dijawab tuntas oleh sang Jenderal bintang dua ini.
19 Bulan bertugas di Provinsi Aceh dijawab dengan kinerja yang apik dan humanis serta moderen oleh Jenderal Wahyu Widada.
Dalam beberapa kali kesempatan penulis sempat berdiskusi panjang dengan sosok Jenderal ini.
Penulis bertanya apa tujuan Jenderal membuat beberapa kali video pendek dalam rangkaian jenderal melaksanakan tugas di Aceh?
Dengan santai beliau menjawab, “tujuan saya cuma satu bro, sudah cukuplah Provinsi Aceh ini menjadi momok menakutkan bagi siapapun, saya ingin menyatakan Aceh kepada nasional dan dunia bahwa Aceh adalah daerah aman dan nyaman (comfort zone).”
Saya sayang kepada Aceh, dan saya telah jatuh hati kepada Aceh, ucap Irjen Pol Wahyu Widada M. Phil.
Sang Jenderal melanjutkan kata-katanya, dari beberapa kali penempatan tugas, ia merasasakan sesuatu yang sangat berbeda saat bertugas di Aceh.
Aceh ini mempunyai daya tarik (chemistry) yang sangat kuat, bukan hanya bagi Sang Jenderal, tapi juga keluarganya.
“Sampai istri Saya Sri Wahyuswinta membuat buku dengan judul ‘Permata Tersembunyi di Ujung Sumatera’,” ujarnya.
Sehingga dalam beberapa kesempatan bertemu tokoh Aceh, Wahyu meminta izin kepada masyarakat Aceh untuk menjadi bagian dari orang Aceh.
“Lon ureung Aceh,” ucap sang Jenderal suatu malam yang telah larut dalam diskusi panjang di rumah dinasnya beberapa waktu lalu.
Operasi Rahasia Membongkar Sindikat Sabu
Jenderal Wahyu Widada merupakan sosok jenderal yang mempunyai latar belakang bidang reserse.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), reserse berasal dari padanan kata (re•ser•se /resérse/ n polisi yang bertugas mencari informasi yang rahasia; polisi rahasia/kriminal polisi rahasia pengusut).
Background Pak Wahyu terjawab bahwa setelah pascadamai, Provinsi Aceh telah menjadi surga bagi para mafia sabu-sabu.
Aceh telah dijadikan salah tempat transit sabu-sabu (drug zone), dari negara tetangga.
Ratusan ribu kilo (ton) telah dibongkar dengan beberapa kali memciptakan operasi rahasia oleh Kapolda Aceh Wahyu Widada.
Ini sebuah legacy (warisan) kepada Kapolda Aceh selanjutnya pelanjut estafet kepemimpinan Irjen Pol Drs Wahyu Widada M. Phil.
“Banyaknya sabu-sabu yang diungkap tersebut membuktikan banyak bandar narkoba di Aceh. Kami akan menindak tegas semua bandar, kurir, maupun pengecer barang haram tersebut,” ucap Kapolda suatu ketika di Aceh.
Terakhir dalam misi operasi rahasia kolaborasi dengan Mabes Polri, Tim Gabungan Direktorat Tindak Pidana Narkoba Bareskrim Polri dengan Direktorat Reserse Narkoba Polda Aceh bersama Kanwil Bea Cukai Aceh dan Satgassus Polri berhasil mengungkap peredaran narkotika jenis sabu-sabu seberat 2,5 ton asal jaringan internasional Timur Tengah, Malaysia, dan Indonesia.
Sabu sebanyak 2,5 ton tersebut disita di lokasi berbeda mulai dari Aceh hingga Jakarta.
“Sabu 2,5 ton itu kita tangkap dalam di tiga lokasi berbeda dan Aceh menjadi zona masuk, ini membuat adrenalin saya terpacu untuk menyelematkan generasi Aceh ke depan dari bahaya narkoba jenis sabu sabu ini,” ucap Jenderal Wahyu dalam raut wajah yang serius dalam diskusi santai dengan penulis di malam yang larut itu.
Bagi penulis, sosok Jenderal Wahyu Widada adalah jawab dan momentum bagi kepolisian untuk menunjukkan banyaknya perubahan yang telah dilakukan, sedang dan akan dijalankan dalam rangka mewujudkan institusi Polda Aceh yang profesional dan akuntabel.
Anneke Osse dalam bukunya, Memahami Pemolisian (2007) menyebut salah satu prasyarat membangun pemolisian yang profesional adalah keterbukaan dan akuntabilitas kinerja.
Selain setiap personel bertanggung jawab atas perilaku mereka kepada atasan dan institusi kepolisian secara penuh (akuntabilitas internal), dan melaporkan kinerja lembaga secara keseluruhan kepada Presiden selaku pemegang rantai komando tertinggi dan parlemen selaku pembuat kebijakan (akuntabilitas kepada negara).
Polri dihadapkan pada persoalan mendasar, yakni keterbatasan anggaran untuk penambahan jumlah anggota maupun menjalankan operasional kepolisian, terutama fungsi pencegahan dan pemeliharaan keamanan.
Hingga hari ini, jumlah anggota Polri belum sesuai standar minimal sesuai rasio yang dikeluarkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (1 personel berbanding 400 orang).
Terlebih jika membandingkan dengan luas wilayah yang harus diamankan dengan jumlah anggota Polri jauh dari ideal.
Sementara itu, tingkat keamanan cukup berkembang dan membutuhkan banyak waktu, tenaga dan anggaran yang cukup besar, hingga menurut Prof. Adrianus Meliala membuat Polri sibuk (Kompas, 2017). (Sumber sebuah catatan dalam kemitraan.Co.id )
Dan sosok Jenderal Wahyu Widada telah membuat polisi di Aceh telah berani keluar dari zona nyaman dalam bertugas.
Interaksi polisi dengan masyarakat secara luas dan terukur dalam mengadapi pandemi Covid 19, telah membuat masyarakat Aceh tenang dalam menghadapi wabah yang mendunia ini.
Program vaksin yang diupayakan oleh polisi juga telah menjawab keraguan masyarakat serta telah meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang urgensinya vaksin dalam melindungi metabolisme tubuh.
Di jajaran Polda Aceh Jenderal Wahyu telah berhasil merubah maindset, bahwa siapapun dia yang berperilaku baik di internal Polda Aceh pasti akan mendapatkan jabatan yang pantas.
Hal ini selaras dengan adagium the right man on the right job (orang yang baik akan mendapatkan jabatan yang baik).
Pendekatan polisi melalui edukasi terlihat dari maksimalnya peran yang diperankan oleh polisi yang berada di front terdepan dengan masyarakat (Bhabinkamtibmas).
Serta edukasi kesadaran berlalu lintas untuk menekan laju laka lantas ditengah masyakat juga dijawab Jenderal dengan mendekatkan pendekatan humanis dari jajaran Direktorat Lalu lintas Polda Aceh, serta edukasi bahaya sabu-sabu bagi generasi penerus Aceh.
Di sisi lain Menurut hasil penelitian Malcolm K. Sparrow dari Universitas Hardvard (New Perspective in Policing, 2015), umumnya ukuran pencapaian kinerja polisi di seluruh negara hanya berkutat pada indikator jumlah kasus yang ditangani dan penurunan tingkat kejahatan.
Tapi hal ini kurang selaras dengan sosok Jenderal Wahyu, beliau lebih konsen pada konsep pencegahan dan edukasi.
Hal ini terbukti efektif menurunkan angka kriminalitas di Provinsi Aceh serta menurunkan jumlah rasio kecelakaan di jalur lalu lintas serta telah membuat para mafia narkoba sabu-sabu mati kutu.
Sejatinya keamanan di barometerkan dengan rendahnya tindak pidana dan kriminal yang terjadi bukan dengan rasio jumlah kuantitas kasus yang ditangani oleh polisi, tapi sentuhan hati dengan edukasi ini lebih efektif dan terukur ujarnya.
Jangan Pernah Lupakan Aceh
Kini, Jenderal Wahyu Widada yang telah memimpin jajaran sejak 3 Februari 2020 bertugas di Aceh, dipercayakan oleh Kapolri untuk mengemban amanat tugas sebagai sebagai Asisten Kapolri bidang Sumber Daya Manusia (AS SDM).
Ada segudang harapan dari kami warga Aceh kepada Jenderal.
Semoga sukses Jenderal jangan pernah melupakan Aceh, meskipun Jenderal telah pergi dalam penugasan di Aceh jangan pernah lupa untuk kembali untuk menjadi bagian masyarakat Aceh.
Ceritakanlah kepada semesta Nusantara bahwa Aceh aman dan nyaman dengan masyarakat yang terbuka untuk siapapun.
Hari ini Selasa (10 Agustus 2021) Jenderal mengabarkan kepada penulis akan melaksanakan serah terima jabatan dengan Kapolda Aceh yang baru.
Dalam Tempo masa dan waktu penugasan Jenderal telah mampu membuktikan bukan hanya mampu menjadi Kapolda Aceh, tapi juga telah menjadi orang Aceh.
Penanganan Aceh secara kalem dan tenang serta penuh wibawa telah membuat seluruh unsur polisi di Aceh menjadi katalisator perubahan dalam organ batang tubuh masyakarat Aceh.
Memang diketahui dengan seksama bahwa Negara butuh sejumlah jenderal untuk menjaga kondusivitas keamanan dan hukum di Aceh.
Tapi tidak semua jenderal yang dipunyai negara ini mampu dan bisa dan serta terbukti dengan piawai dan apik dalam melaksanakan tugas di Provinsi Aceh.
Jenderal Wahyu telah membangun kepercayaan masyakarat terhadap kepolisian.
Semoga ini menjadi legacy yang akan diteruskan oleh pelanjut estafet Kapolda Aceh, Irjen Pol Ahmad Haydar.
Selamat jalan Jenderal Wahyu Widada dan Ibu Sri Wahyuswinta Wahyu Widada.
Semoga sukses penuh kemuliaan di manapun dalam bertugas dalam jenjang karier jenderal di Mabes Polri.
Kami mengapresiasi kinerja luar biasa, kami akan selalu merindukan dan pasti akan mendoakan yang terbaik untuk Jenderal sekeluarga.
Salam takzim dan tabik Jenderal..!
*)Penulis adalah Warga Aceh, Hakim Mahkamah Agung Republik Indonesia.