Catatan : Dewinta Pringgodani
Nyaris seharian keliling Jakarta. Ngobrol dengan Kang Nanang sopir taxi yg incomenya turun 40% imbas taxi online. Ketemu Mas Eko Kuntadhi, dihadiahi buku Para Penyembah Petromaks, yg belum sempat saya baca.
Rebahan sambil baca uploadan teman2 di facebook yg selalu jenaka. Ada Edy Rumpoko Walikota Batu yg akhirnya ikut daftar ke KPK via OTT. Kasus Asma Dewi juga terus membahana karena makin jauh ditinggal kawan-kawannya.
Diujung yg lain terbaca bahwa Pak Prabowo berkomentar tentang bantuan Indonesia untuk pengungsi Rohingya ke Bangladesh yg disebut sebagai pencitraan.
Lama saya membaca headlinenya. Ini bercanda atau lupa. Harusnya seorang mantan jenderal sekelas dia dan Bacapres pula, kok bisa-bisanya bantuan kemanusiaan dari negaranya disebut pencitraan.
Jokowi adalah rival yg pasti menyulitkan dalam laga Pilpres 2019. Tapi urusan kemanusiaan ditarik ke masalah persaingan perpolitikan kok jadi kelas komentar Fadli Zon diterus2kan. Kelas mantan jenderal jadi sama kelasnya bintang iklan Daia yg tak iya.
Beberapa kali saya nonton video saat Pak Prabowo bicara strategi pemenangan dalam kancah perebutan kekuasaan. Disana dia menyebut strategi ” Rampaslah saat rumah terbakar ”
Awalnya saya kurang paham maksudnya. Tapi lama-lama saya coba merenungkan. Mencoba memahami dan saya jadi paham.
Ini adalah strategi pembumi hangusan. Ingat konflik Ambon. Ingat Jakarta yg pernah memerah dan Jakarta yg baru saja nyaris berdarah karena sumpah serapah agama yg terarah.
Merampas saat kebakaran menjadi kata dua makna. Dibakar atau terbakar. Namun bila diamati, bahwa strategi itu dibuat, di rencanakan dan di eksekusi, maka tidak ada yg terbakar. Yang ada adalah dibakar. Membakar tidak harus dengan api. Karena lidah lebih panas dari api.
Kasus Pilkada DKI Jakarta menjadi nyata bekerjanya sebuah rencana dgn strategi merampas rumah yg sedang kebakaran. Sangat jelas dan gampang ditebak siapa yg main dibelakangnya. Untuk apa dan kenapa.
Statement Pak Prabowo atas bantuan kemanusiaan yg disampaikan pemerintah Indonesia kepada pengungsi Rohingya sebagai sebuah pencitraan sungguh sangat menyakitkan. Segitu parahnya sebuah kemarahan terhadap lawan politik dalam persaingan sampai-sampai membedakan antara kebaikan yg sedang dijalankan dan perasaan ingin menjatuhkan tidak terpilah. Usaha kolektif dari bangsa ini atas nama kemanusiaan telah dihinakan oleh seorang Prabowo yg konon begitu menjanjikan bila kelak memimpin sebuah negara.
Kalau dengan gaya yang ditampilkannyaz jangankan menjadi macan Asia, menjadi pelanduk saja, kayaknya sulit untuk mengangkat kepala.
Bagaimana mungkin dia akan menjadi kepala negara yg bijaksana, kalau membedakan antara bantuan 5 helikopter direndahkan dengan kata pencitraan.
Apakah nyari sumbangan degann kotak indomie di pinggir jalan menjadi ukuran tindakan yg bisa dibanggakan.
Dia mngkin lupa bahwa menyebar anak-anak mencari sumbangan menempati trotoar Jakarta adalah pencitraan rendahan. Seolah peduli Rohingya padahal hasil ngemisnya kita tak tau diaudit siapa.
Kata teman saya ngemis untuk Aleppo yang lalu dapat 94 M, yg dikirim cuma 20 M. Sisanya habis buat induk pengemis yg menjual kata solidaritas tapi kelakuan sangat tak pantas.
Jujur kami rakyat ini lelah sudah kalian buat. Loncatan kemaksiatan politik kalian sudah mencapai ubun-ubun kemuakkan. Menyesakkan.
Seolah kalian mengidap glulokoma hati yg akut. Ciri kalian jelas terlihat. Setiap gerakan murahan berupa olok2an kepada sebuah institusi negara pasti dibelakangnya ada kalian.
Aura. Ada, dan rasanya sudah begitu biasa dan selalu terasa bahwa kalian sangat niat dengan kekuasaan hanya utk sebuah keserakahan.
Bulshit kalian ngomong keadilan!
Bagaimana mungkin platform dasar berpikir yg agitatis akan menghasilkan sebuah negara yg aman dan damai.
Bagaimana entitas kebenaran akan dirasakan bila dalam waktu yg sama negasi atas sebuah kedamaian dilakukan.
Oh Ibu pertiwi kami makin tidak mengerti. Ada biri-biri ngakunya sapi. Tapi yg disusui anak babi.
Apakah memang harus begini nasib sebuah negeri. Jokowi jadi bekerja sendiri, yg lain mencaci maki bahkan PKI dipaksa reinkarnasi diminta nyambangi Jokowi, agar stigma terpatri bahwa dia anak PKI yg tak pantas dipilih lagi.
Padahal yang mau mengganti dgn cara keji rekam jejaknya begitu ngeri.
Ah, lelah hati kami.
Cermin itu dipaksa berkata gagah yg seharusnya sebuah pengakuan sebenarnya bahwa ada yg salah atas dirinya.
#Kalau mau jadi presiden jangan pakai saracen ***
*) Penulis seorang pengamat politik, hukum dan keamanan. Tinggal di Jakarta