DAERAH  

Status WTP Sumbar Patut Dicurigai

PADANG, kabarpolisi.com — Operasi Tangkap Tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap dua auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), juga menuai berbagai tanggapan dari sejumlah pihak di Sumbar. Termasuk mempertanyakan opini WTP yang baru saja diterima oleh Pemprov Sumbar.

OTT itu terkait dengan pemberian predikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) pada Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes PDTT). Pasalnya, Sumbar juga mendapatkan WTP di tengah adanya dugaan penyimpangan 30 item dalam Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) 2016 dengan temuan mencapai Rp45 miliar.

Dikutip dari Harianhaluan.com Padang, pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Andalas, Feri Amsari, menilai, WTP yang diperoleh Pemprov Sumbar sekarang ini patut dicurigai. Kecurigaan terhadap WTP yang didapatkan Pemprov Sumbar tersebut, kata Feri, berdasarkan dugaan sekitar Rp45 miliar dana menyimpang dari 30 item temuan pada LPKD.

Karena itu, menurutnya, penyimpangan dana Rp45 miliar tersebut harus diusut karena hal tersebut merupakan indikasi yang salah dengan status WTP yang diterima Pemprov Sumbar.

“Tentu tidak seluruh status WTP bermasalah, tetapi patut dipertanyakan. Di sini peran KPK untuk melakukan recheck status WTP. Yang jelas, WTP-WTP sekarang patut dicurigai,” tutur Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Unand tersebut saat dihubungi melalui pesan WhatsApp, Senin (29/5).

Ia memperkuat pendapatnya dengan mengatakan bahwa WTP hanya hasil audit. Hasil audit yang dilakukan BPK bisa salah, termasuk hasil audit yang dilakukan BPKP di internal provinsi.

Saat ditanya adakah cara lain mengaudit pengelolaan keuangan pemda selain BPK dan BPKP, Feri mengatakan, cara lainnya adalah melalui penyidikan aparat penegak hukum.

Mengenai WTP, Feri mengutarakan, WTP adalah tingkat tertinggi laporan keuangan suatu lembaga. Artinya, lembaga itu dianggap “bersih” dalam menggunakan keuangan negara tanpa ada indikasi kecurangan penggunaan apa pun.

Terkait Pemprov Sumbar yang memperoleh WTP, tetapi ada dugaan penyimpangan pemakaian dana, Feri mengatakan, “Itu hebatnya, kadangkala publik merasakan korupsi terjadi di suatu lembaga, tetapi statusnya tetap WTP,” ucapnya.

Sementara itu, kata Feri, pemda yang mendapatkan predikat non-WTP akan membuka kesempatan masuknya pidana. Aparat hukum bisa menjerat dengan menjadikan audit dari BPK sebagai alat bukti awal.

Seperti temuan BPK RI Perwakilan Sumbar terkait kasus Surat Pertanggungjawaban Fiktif atau yang dikenal dengan kasus SPJ Fiktif di Dinas Prasarana Jalan, Tata Ruang dan Pemukiman (Disprasjaltarkim) Sumbar, sekarang Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) sebesar Rp43 miliar.

Menurut Kepala Kantor BPK RI Perwakilan Sumbar, Eliza, pada Haluan di kantornya di Jalan Khatib Sulaiman Nomor 54, Padang, Kamis (26/1) lalu,
BPK RI Perwakilan Sumbar telah menyerahkan kasus ini ke BPK RI Pusat.

“Karena temuannya telah mencapai Rp1 miliar lebih, maka kasus ini sudah menjadi kewenangan pusat. Bahkan tim ini telah mulai bekerja dari Desember lalu untuk menyelidiki kasus SPj fiktif ini.
Ini pun sudah pengajuan kedua untuk perpanjangan tugasnya di Sumbar,” kata Eliza di dampingi Kepala Auditorat Sumatera Barat I, Indria Syzinia, Kepala Sekretariat Perwakilan, Zainal Arif Budiman, dan Kepala Sub Bagian Humas, Rita Rianti.

Eliza menyebutkan terkait dengan kasus ini maka status Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) yang didapat Pemprov Sumbar bisa saja turun. Hal itu tergantung dari penyelesaian kasus SPj fiktif ini.
“Perlu kita tegaskan meski mendapat WTP tidak menjamin daerah tersebut bebas dari korupsi,” ungkap Eliza.

Dijelaskan Eliza, bahwa penyelidikan terkait SPj fiktif ini di awalnya hanya pada tahun anggaran 2015 dan 2016. Namun, karena ditemukan kejanggalan akhirnya dirunut ke belakang dari tahun anggaran 2013 dan 2014, khususnya terkait dengan pembebasan lahan Jalan Samudera dan Junction flyover Padang Pariaman.

Dalam LHP BPK Perwakilan Sumbar bernomor: 45/ LHP/XVIII.PDG/10/2016 proyek itu dilaksanakan dengan anggaran tahun 2014 sebanyak Rp6.523.666.300, sementara tahun 2015 jumlahnya mencapai Rp16.116.266.000. Sedangkan untuk anggaran tahun 2016, sejauh ini belum ada laporan konkretnya.

Untuk tahun 2013, dilakukan pergantian lahan dan tanaman kepada masyarakat. Sementara anggarannya terdapat pada pos anggaran tahun 2014 senilai Rp6.523.666.300.

Namun masyarakat setempat hanya menerima ganti rugi tahun 2013. Tahun 2014 mereka tak lagi menerima ganti rugi.

Auditor BPK RI juga menemukan 21 orang yang namanya persis atau identik dengan nama yang ada pada daftar pembayaran ganti rugi tahun anggaran 2014 yang direalisasikan tahun 2013, dengan jumlah anggaran Rp6.523.666.300. Artinya, ada yang dibayarkan lebih dari satu kali untuk pembayaran ganti rugi, pada lahan yang sama.

Sederet temuan itu, ternyata tak mempengaruhi pemberian opini WTP pada laporan keuangan Pemprov Sumbar.

Seperti diberitakan sebelumnya, saat menyampaikan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) LKPD Sumbar di DPRD Sumbar, Senin (22/5), Anggota V Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Sumbar Isma Yatun menyatakan, “Opini yang diberikan pemeriksa, termasuk WTP, merupakan pernyataan profesional pemeriksa mengenai kewajaran laporan keuangan, bukan merupakan jaminan tidak adanya penyimpangan yang ditemui ataupun kemungkinan timbulnya penyimpangan pada kemudian hari,” ujar Isma Yatun.

Pernyataan Isma Yatun tersebut terkait adanya temuan senilai Rp43 miliar tersebut. Pertama, DED konstruksi jembatan Rp34,2 miliar, belanja bahan bakar minyak (BBM) organisasi perangkat daerah (OPD) Rp1,24 miliar, belanja sekretariat DPRD Sumbar Rp4,24 miliar, belanja alat tulis kantor (ATK) dan bahan habis pakai sebesar Rp5,4 miliar, dan kelebihan pembayaran barang dan jasa Rp123,3 juta.

Isma Yatun menjelaskan, temuan pada DED konstruksi jembatan tersebut adalah pemeriksaan terhadap sistem pengendalian intern (SPI). Sementara itu, pada belanja BBM OPD, BPK meyakini adanya belanja BBM pada 7 OPD.

Kemudian, pada belanja sekretariat DPRD Sumbar, BPK menilai belanja tersebut tidak wajar. Lalu, pada belanja ATK dan bahan habis pakai pada 11 OPD, BPK tidak menemukan bukti lengkap belanja tersebut. Sementara itu, pada kelebihan pembayaran barang dan jasa, BPK menganggap hal tersebut sebagai bentuk ketidakpatuhan terhadap peraturan perundang-undangan, termasuk di dalamnya barang inventaris Pemprov Sumbar dikuasai pihak yang tidak berhak.

Sementara itu, Gubernur Sumbar, Irwan Prayitno, menyatakan, dengan opini WTP pada LHP LKPD pada 2016, Pemprov Sumbar sudah mengantongi WTP sebanyak lima buah sejak 2012, dari sebelumnya WDP.

Bersamaan dengan itu, jumlah temuan pada LKPD Pemprov Sumbar berkurang dari tahun ke tahun.

“Pada tahun 2016 ada 30 temuan. Menurun dibandingkan dengan temuan tahun sebelumnya yang mencapai 50 temuan. Semua item temuan itu akan diselesaikan sesuai dengan waktu yang diberikan,” tutur Irwan.

Sedangkan Wakil Ketua DPRD Sumbar, Arkadius, mengatakan, keberhasilan tata kelola keuangan tidak semata-mata ditunjukkan dari opini WTP, tetapi juga dilihat dari tindak lanjut pemda atas perbaikan yang direkomendasikan BPK, termasuk rekomendasi perbaikan yang diberikan DPRD, sehingga perbaikan penyelenggaraan pemerintahan bisa terus dilakukan.

Sementara itu mantan Ketua BPK RI, Harry Azhar Aziz, mengatakan salah satu indikator keberhasilan laporan keuangan bila memperoleh opini WTP dari BPK. Namun, opini WTP bukan segalanya, artinya upaya memperoleh opini WTP hendaknya seiring dengan upaya pencapaian kinerja yang baik dalam pengelolaan keuangan.

“Idealnya upaya meraih WTP juga dibarengi dengan upaya untuk mencapai kinerja terbaik, tidak terjadi korupsi dan rakyatnya kian sejahtera,” ujarnya seperti dikutip Antaranews.com, 6 Februari 2017.

Menurut Guru Besar Fakultas Ekonomi Unand, Firwan Tan, WTP tidak berhubungan secara langsung dengan tingkat kesejahteraan masyarakat.

“WTP hanya alat untuk melakukan audit untuk mengawasi apakah penggunaan anggaran sesuai dengan perencanaan. Jadi, WTP tidak ada kaitan secara langsung dengan tingkat kesejahteraan masyarakat. Mungkin yang dimaksud oleh Harry Azhar itu adalah penggunaan anggaran hendaknya sesuai dengan yang diharapkan sehingga berdampak kepada kesejahteraan mayarakat. Misalnya, gunakan uang untuk kegiatan produktif, seperti pemberian kredit lunak kepada pelaku usaha. Kalau kredit bank itu kredit komersial. Jadi, kurang-kurangilah ke luar daerah untuk studi banding, misalnya, karena zaman sekarang teknologi sudah maju. Tidak perlu ke luar daerah untuk studi banding karena bisa manfaatkan internet, telepon, dan lain-lain. Lebih baik manfaatkan dana daerah untuk kegiatan produkti yang bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Yang berhubungan langsung dengan kesejahteraan masyarakat itu, antara lain, meningkatnya jumlah kesempatan kerja, meningkatkan jumlah uang yang beredar di suatu daerah, meningkatnya jumlah investasi, meningkatnya keterampilan masyarakat, meningkatnya dunia usaha,” tuturnya.

Mengenai tingkat kesejahteraan masyarakat Sumbar, Firwan Tan mengakui bahwa kesejahteraan masyarakat Sumbar lebih rendah dibandingkan provinsi-provinsi lain di Sumatra. Hal itu terlihat dari pendapatan per kapita.

“Tingkat kesejahteraan masyarakat suatu daerah tidak bisa dilepaskan dari pendapatan per kapita. Pendapatan per kapita Sumbar lebih rendah daripada Jambi, Sumatra Utara, Sumatra Selatan, Bangka Belitung, dan Riau. Kalau dibilang pendapatan per kapita mereka tinggi karena sumber daya alamnya besar daripada sumber daya alam Sumbar, bayak daerah yang sumber daya alamnya sedikit, tetapi pendapatan per kapitanya besar, seperti daerah-daerah di Jawa Barat.

Sumber daya alamnya sedikit, tetapi sumber daya manusianya bagus. Sumbar identik dengan daerah-daerah itu. Jadi, Sumbar seharusnya juga bisa seperti itu. Caranya, bagaimana mendorong investasi sebanyak-banyaknya, bagaimana membawa banyak uang beredar di sini,” ujar Firwan. (Tata Tanur)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.