OPINI  

Mengintip Komunisme di Negeri Para Nabi

Leila Khaled, pejuang Popular Front of the Liberation Palestine (PFLP)

42 tahun sudah komunis menjadi sebuah momok menakutkan bagi bangsa Indonesia. Bagaimana tidak, ideologi yang ditunggangi oleh Partai Komunis Indonesia (PKI ) dianggap telah melakukan usaha kudeta disertai pembunuhan terhadap para perwira tinggi angkatan darat yang dikenal dengan Gerakan 30 September (G30S).

Dengan ditetapkannya TAP MPRS /XXV/1966 yang berbunyi pelarangan terhadap paham Marxisme – Leninisme di Indonesia, ideologi komunis resmi menjadi barang haram bagi rakyat Indonesia, terkecuali oleh mereka yang mengaku paham betul dengan ideologi ini, malahan ada yang sengaja ingin eksis dengan berpose mengenakan atribut kebesarannya di media sosial.

Tak lupa para ulama pun turut mengharamkan komunisme yang mana gemanya terus terdengar hingga sekarang.

Hal ini justru berbeda dengan beberapa Negara di Timur Tengah yang membiarkan partai berhaluan komunis terus eksis hingga saat ini. Tidak percaya?

Seolah ketinggalan informasi atau terlalu disibukkan dengan gembar – gembor Al Qaeda, ISIS atau Arab Spring a la Suriah, di awal tahun 2017 muncul beberapa video di Youtube maupun di media sosial lainnya yang memperlihatkan kekhawatiran bahwa komunisme telah muncul di Timur Tengah.

Padahal, sejarah mencatat bahwa komunisme di Timur Tengah sudah muncul di periode awal abad ke -20. Tareq Y. Ismael mengungkapkan dalam The Communist Movement in The Arab World, komunisme sudah bangkit di Timur Tengah tidak lama pasca momentum revolusi Rusia tahun 1917.

Hal ini pun dibuktikan dengan munculnya Partai Komunis di Lebanon dan Suriah (al – Hizb al – Syuyu’i al – Suriyya al – Libnani) pada tahun 1924 yang menentang keras mandat Prancis di kedua Negara tersebut.

Bahkan menurut Suleyman Schwartz dalam jurnal ilmiahnya Islam and Communism, benih – benih komunisme sudah ada jauh sebelum islam menancapkan kekuasaannya di daratan Arabia dan Ajam. Ajaran yang dianggap sebagai benih komunisme itu muncul melalui hasil kontemplasi seorang filsuf Persia bernama Mazdak (487 M).

Ia berpendapat bahwa semua orang yang dilahirkan di seluruh dunia itu sama dan memiliki hak atas atas harta dan wanita, karena keduanya merupakan pangkal dari pada perselisihan. Ajaran ini dalam beberapa literatur sejarah biasa disebut Mazdakisme.

Kembali kea bad 20, di Palestina eksistensi partai komunisnya seakan tenggelam oleh konflik tak berujungnya dengan zionis Israel. Perlu diketahui, bahwa Palestina memiliki beberapa partai politik berhaluan komunis yang sudah muncul pada periode 1920 – an hingga periode 1960 – an, yang kemudian bergabung dengan komintern.

Salah satu partai komunis Palestina yang masih eksis sampai sekarang ialah Popular Front for the Liberation of Palestine (PFLP).

PFLP dibentuk tahun 1967 oleh seorang dokter Arab beragama nasrani yang bernama George Habash. Mungkin hanya sedikit yang mengetahui bahwa PFLP merupakan partai kedua terbesar setelah Fatah yang menyokong gerakan Palestine Liberation Organization (PLO).

Selain berideologi komunis, PFLP merupakan partai yang turut menyuarakan anti – zionisme yang sangat militan.

Berbeda dengan Yaser Arafat yang memilih jalur diplomasi dalam usaha mencapai perdamaian dengan zionis Israel, PFLP yang dinahkodai Habash justru menentang sikap lunak Arafat dan memilih mengangkat senjata dalam menghadapi negeri bintang david tersebut. Bisa dikatakan Habash merupakan anti – tesis dari Arafat.

Barangkali Habash juga gerah akibat perlakuan Israel yang menurut penulis bisa juga disebut kaum Machiavellis. Dalam buku untuk para diktator yang berjudul “il principle” Machiavelli mengatakan bahwa musuh harus dilukai sangat parah bila perlu dimusnahkan, kelak si musuh tidak akan bisa melakukan perlawanan balik.

Hal ini bisa dilihat dari serangan – serangan membabi buta militer Israel ke negeri yang baru – baru ini diakui oleh PBB tersebut.

Dari sedikit pembahasan di atas, lahir pula setetes konklusi bahwa keberadaan komunisme di negeri para nabi diakibatkan perilaku represif oleh bangsa rakus yang kemudian bermuara kepada ketimpangan sosial serta urgensi di setiap lininya.

Jalan militan yang ditempuh beberapa partai komunis di negeri para nabi sejalan dengan semangat pertentangan kelas dari sang pencetus, bahwa Marx tidak pernah meneriakkan perdamaian ataupun menyisipkan kata – kata cinta ataupun kasih dalam tulisan – tulisannya, Seperti yang dikutip dalam Nasionalisme, Islamisme, Marxisme – nya Soekarno.

Bisa dibilang komunisme sudah tidak efektif lagi dijadikan ideologi oleh suatu partai politik di dalam Negara yang sudah merdeka ditambah dengan disahkannya aturan hukum terkait.

Sayangnya masih berkuasanya para penindas di dalam Negara merdeka membuat mereka yang sudah capek menyaksikan para penindas gemas ingin melakukan perlawanan, Tapi toh tidak mesti dengan menjadi komunis!

Dan mengintip memang bukan suatu kegiatan yang menyenangkan, karena hanya bisa melihat sedikit. Semoga setelah mengintip, pembaca mau mencari tau lebih lanjut terkait komunisme di negeri para nabi.

Faishal Bagaskara / Qureta.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.