A.A. Navis, Salah Seorang Manusia Merdeka di Indonesia

Oleh: Chairul Harun

Dalam negara Indonesia yang merdeka dan berdaulat, seharusnya warga negaranya manusia yang merdeka, berdaulat atas dirinya, mandiri dan bertanggung jawab. Manusia merdeka adalah manusia yang dewasa, bukan manusia anarkis dan bukan pula manusia nihilis.

Dalam masa kanak-kanak dan remaja, baik di Sumatera Barat maupun di Solo dan Jakarta, saya banyak mengenal manusia merdeka. Mereka punya keberanian berpikiran bebas, menyatakan pendapat secara terbuka, bertindak berdasarkan keyakinan dan punya keberanian menanggung risiko.

Saya lebih dahulu mengenal cerpen-cerpen A.A. Navis dan kemudian baru mengenalnya secara pribadi pada tahun 1960-an ketika saya bekerja pada harian Aman Makmur yang terbit di Padang. Waktu itu A.A. Navis tinggal di Bukittinggi.

Saya punya kesan pertama, bahwa A.A. Navis seorang parewa intelektual yang bisa mengerjakan apa saja. Ia bisa bertukang, membuat patung, melap lantai, membuat konsep surat dan amplop sampai pada melaksanakan tugas sebagai ‘diplomat dan politisi’.

Saya memahaminya sebagai anak didik Engku M.Syafei, sebagai alumni INS Kayutanam.

Tindakan-tindakannya sering mengejutkan, tidak terduga dan mengandung risiko. Salah satu tindakannya yang mengesankan saya pada masa kejayaan Bungk Karno adalah mencegah Hartini Soekarno menerima gelar Bundo Kanduang Agung yang bila disingkat BUNDUAN.

Dengan argumentasi yang kuat A.A. Navis datang ke Markas Kodam III/17 Agustus dan menyatakan sikapnya pada Panglima Kodam serta para perwira menengah waktu itu yang jelas mengkultuskan nama Soekarno.

Kalau sekiranya Panglima Kodam III/17 Agustus menolak argumentasi A.A. Navis maka risikonya ia ditangkap dan dianggap sebagai melakukan kegiatan subversif serta menghina Pemimpin Besar Revolusi dan keluarganya.

Nasib baik bagi A.A. Navis dan Hartini Soekarno, karena gelar BUNDUANG itu tidak jadi dianugrahkan pada isteri Soekarno, dan mungkin Panglima Kodam III/17 Agustus waktu itu bisa menerima argumentasi A.A. Navis.

A.A. Navis juga punya keberanian menyatakan pendapat pada orang yang sedang berkuasa. Pada Kolonel Naszir Asmara yang menjadi Komandan Korem di Bukittinggi pada awal tahun 1970-an A.A. Navis bisa mengatakan: “Cobalah Pak Naszir berpakaian preman ke Pasar Atas Bukittinggi. Waktu itu Pak Naszir bisa saja ditampar oleh kopral tentara atau polisi.”

A.A. Navis ingin mengingatkan pada kolonel tersebut bahwa suatu saat akan pensiun dan kembali jadi rakyat biasa, berpakaian preman atau sipil dan sangat terbuka diperlakukan secara buruk oleh aparat kekuasaan.

A.A. Navis juga punya keberanian secara terbuka mengecam Gubernur Harun Zain yang terkenal dengan strategi harga dirinya pada awal Orde Baru. Meski Harun Zain mantan Rektor Unand dan punya tradisi berpikiran bebas, ia masih kaget mendengar ucapan-ucapan kritis A.A. Navis, apalagi kalau disampaikan secara terbuka.

Karena ucapan-ucapan kritis A.A. Navis, ditambah pergaulan yang akrab dengan Kolonel Naszir Asmara dan beberapa perwira menengah di Kodam III/17 Agustus, serta ada para penjilat yang mengelilingi Harun Zain, maka Harun Zain menjadi curiga, mengira A.A. Navis dan kawan-kawannya bermaksud mendongkel Harun Zain sebagai Gubernur Sumatera Barat.

Suatu saat Harun Zain sangat memusuhi A.A. Navis, dan saya beserta beberapa seniman lain. Puncaknya adalah ketika terjadi Peristiwa Malari di Jakarta. Seorang tokoh mahasiswa yang jadi kaki tangan Ali Murtopo di Sumatera Barat melakukan serangkaian pengkhianatan dan jebakan-jebakan sambil menjilat Harun Zain, karena tokoh mahasiswa ini punya ambisi jadi anggota DPRD Tingkat I Sumatera Barat dan anggota MPR.

Malahan kami dikatakan akan melakukan rapat gelap di Air Mancur, Lembah Anai untuk mencari ganti Harun Zain.
Perintah penangkapan telah dikeluarkan pihak Kodam III/17 Agustus, bila memang terjadi rapat gelap di Air Mancur. Karena hanya fitnah, tentu penggerebekan di Air Mancur tidak terjadi, sebab rapat gelap itu tidak ada.

Berbagai tekanan terhadap A.A. Navis, saya dan kawan-kawan lain masih terjadi. Tetapi akhirnya Jendral Widodo yang datang ke Padang setelah Peristiwa Malari menjernihkan posisi kami.

Ketika jadi Pangdam III/17 Agustus, Jendral Widodo (waktu itu Brigjen), akrab dengan wartawan dan seniman serta tokoh-tokoh masyarakat. Malahan Jendral Widodo memberi rekomendasi pada saya untuk jadi Pemimpin Redaksi Haluan, suratkabar yang berhenti terbit ketika terjadi Pemberontakan PRRI. Berkat rekomendasi Jendral Widodo tersebut, surat kabar Haluan dapat terbit kembali pada tahun 1969.

Setelah Jendral Widodo turun tangan membersihkan posisi kami, tekanan pada kami berkurang. Dan Harun Zain yang pernah jadi TRIP Surabaya juga kehilangan pendukung yang kuat, sebab Jenderal Sumitro telah berhenti.

Setelah masa jabatan Harun Zain berakhir untuk kedua kalinya, hubungan kami dengan Harun Zain kembali akrab.
Pada awal 1960-an sehabis pergolakan PRRI, A.A. Navis mulai mengambil inisiatif membangun kembali kampus INS di Palabihan Kayutanam.

Ketika terjadi pergolakan PRRI tersebut bangunan dan kekayaan INS Kayutanam telah diobrak-abrik oleh orang-orang komunis dengan ujung tombaknya OPR, anak buah Bahar Kirai. Peristiwa ‘bumi angkat’ telah terjadi.

A.A. Navis praktis bekerja sendiri. Ia mengirim surat pada alumni INS dan simpatisan, disertai blangko pos wesel. Di Bukittinggi ia dapat dukungan moril dari Rustam Anwar dan beberapa alumni INS lainnya. Tetapi mereka punya kesibukan sendiri dan tidak cukup berani untuk tampil dalam kondisi politik yang makin didominasi oleh PKI.

Setelah saya mendapat cerita dari A.A. Navis di rumahnya di Bukittinggi tentang upayanya pembangunan kembali INS Kayutanam, saya menyampaikan hal ini pada Kaharuddin Nasution.

Waktu itu Kaharuddin Nasution jadi Gubernur Riau dan saya jadi wartawan Aman Makmur di Riau. Kaharuddin Nasution yang pernah jadi Komandan RPKAD sebelum Sarwo Edhie, adalah alumni INS Kayutanam dan sangat hormat pada Engku Syafei. Ia menyambut baik upaya A.A. Navis tersebut dan menugaskan Hamdan Siregar, seorang pengusaha yang juga alumni INS melakukan koordinasi dengan alumni INS lainnya yang berdomisili di Riau.

Ia sendiri mengupayakan membantu secara langsung Engku Syafei dalam perlindungan politik, terutama terhadap gangguan orang komunis dan pemulihan kesehatan, sebab Engku Syafei di Jakarta sakit-sakitan.

A.A. Navis berusaha memelihara kepercayaan orang banyak yang memberikan sumbangan untuk membangun INS Kayutanam dengan memberikan laporan berkala secara terbuka tentang pemakaian dana yang telah diterima.

Ketika kemudian datang bantuan dari Novib (Belanda) yang dengan berat hati diterima oleh Engku Syafei, tiba-tiba ada saja yang muncul di Jakarta, sejumlah alumni INS yang jadi ‘pahlawan kesiangan’ dan berusaha menyingkirkan A.A. Navis.

Kecendrungan kekuatan politik waktu itu berpihak pada ‘pahlawan kesiangan’ tersebut, sehingga A.A. Navis jadi tersingkir dan berada di luar otoritas yang mengendalikan INS. Tetapi ketika Novib telah menghentikan bantuannya dan otoritas yang berkuasa di INS Kayutanam harus bekerja keras untuk membiayai INS, maka mereka mulai menjauh dan membiarkan Engku A.Hamid sendirian dan akhirnya Engku A.Hamid menetap di Jakarta karena sakit-sakitan.

Meski A.A. Navis disingkirkan, namun kecintaanya pada INS tak berkurang.
Dalam dua tahun terakhir ini dengan dukungan Bustanil Arifin, S.H – seperti selama ini – dan Gubernur Sumatera Barat Drs. H. Hasan Basri Durin, maka A.A. Navis muncul kembali untuk membenahi INS secara menyeluruh, mulai dari organisasi, pendanaan, kurikulum, dan tenaga pengajar.

Tidaklah gampang bagi orang yang tidak mengenal A.A. Navis dan ajaran INS atau tepatnya ajaran Engku M.Syafei untuk memahami dan mengantisipasi kebijaksanaan dan tindak tanduk A.A. Navis. “Manajemen perjuangan” A.A. Navis ditambah dengan kepercayaannya yang kuat pada diri sendiri, serta kefanatikannya pada prinsip-prinsip INS menyebabkan orang lain sering “ngeri” menghadapi A.A. Navis.

A.A. Navis tetap menekankan pembinaan etos kerja dan kepribadian yang militan dari siswa INS. Tetapi tenaga pengajar yang ada cendrung jadi guru pengajar, bukan pendidik seperti yang diharapkan A.A. Navis. Mereka punya ilusi menjadikan INS sebagai sumber siswa yang unggul dan bisa melanjutkan ke perguruan tinggi. Sedangkan A.A. Navis, Hasan Basri Durin, saya dan Basril Djabar menginginkan agar tamatan INS bisa hidup mandiri, punya etos kerja, militansi dan semangat juang yang tinggi di tengah-tengah persaingan hidup yang sengit.

Bagi mereka yang memang sangat cerdas dan punya peluang masuk ke perguruan tinggi, tentu diberi kesempatan. Tetapi yang jadi tujuan dan sasaran bukan menyiapkan siswa untuk melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi. Yang kami harapkan adalah alumni INS Kayutanam bisa jadi kader pimpinan masyarakat di lapisan menengah bawah dalam masyarakat Sumatera Barat.

Hal ini tampaknya sebagai “melawan arus” dari tenaga pengajar yang merasa bangga bila siswa yang dididiknya banyak yang masuk ke perguruan tinggi.
A.A. Navis seringkali secara terbuka menunjukkan kekesalannya pada sikap dan cara berpikir guru-guru yang konservatif dan punya kebanggaan kosong tersebut.

Ini tentu saja menimbulkan ketengan dan suasana yang rawan. Meskin A.A. Navis mencoba bersikap kompromi, namun untuk hal yang menyangkut prinsip dan misi INS ia bersikap seperti “ruyung”. Tampaknya pada waktu yang akan datang A.A. Navis tetap akan mengalami kekesalan bahkan frustasi dalam posisinya sebagai pimpinan INS Kayutanam sekarang.

Birokrat-pengajar pada IKIP Padang pun belum tentu bisa membantu dan memuaskan gagasan dan visi A.A. Navis tentang penyelenggaraan pendidikan di INS Kayutanam.

A.A. Navis yang tidak mau diam dan tidak senang berpangku tangan ini jelas menghargai paham politik karya dan kekaryaan. Karena itu dapat dipahami ia bersedia jadi anggota DPRD Tingkat I Sumatera Barat mewakili Golkar.

Komitmen A.A. Navis bukan pada pribadi, tetapi pada program dan cita-cita memajukan masyarakat. Komitmennya pada pembangunan menyebabkan ia tetap kritis terhadap pribadi-pribadi dan lembaga-lembaga.

Sering ia tidak sepakat dengan rekan-rekan dalam FKP di DPRD Tingkat I Sumatera Barat dan pimpinan DPD Tingkat I Golkar Sumatera Barat. Dalam menyiapkan RAPBD Tingkat I Sumatera Barat, sering ia merepotkan pihak eksekutif, terutama pimpinan Bappeda Tingkat I Sumatera Barat.

Ia bukan saja kritis dalam arti kebijakan, tetapi juga dalam rincian operasional. Kecaman-kecamannya pada eksektutif dalam Rapat Setengah Kamar, sering membuat pejabat yang mewakili eksekutif tersebut kecut atau panas pangkal telinganya.

A.A. Navis bersama M.Zahar merupakan dua orang anggota FKP pada DPRD Tingkat I Sumatera Barat yang bisa merepotkan Gubernur Harun Zain dan Gubernur Azwar Anas. Tetapi keduanya bisa jadi mitra kerja yang seimbang.

Lembaga DPRD Tingkat I Sumatera Barat jadi hidup dan berwibawa. Anggota-anggota dari Parmusi (kemudian PPP) dalam DPRD Tingkat I Sumatera Barat menghargai A.A. Navis dan M.Zahar sebagai teman dialog.

Penghayatan A.A. Navis terhadap kebebasan dan kesadaran dirinya sebagai Manusia Merdeka, menyebabkan beberapa tokoh Golkar di daerah ini menganggap A.A. Navis tidak punya disiplin organisasi.

Tetapi di balik itu, pengeritik itu mempunyai pula ambisi untuk menjadi anggota DPRD Tingkat I Sumatera Barat. Karena itu mereka merasa perlu untuk menyingkirkan A.A. Navis dan M. Zahar dengan berbagai alasan yang tampaknya masuk akal.

Tetapi bagi A.A. Navis yang tidak mengabdi pada kekuasaan dan tidak vested interest itu, soal tidak dicalonkan dan dipilih lagi sebagai anggota DPRD Tingkat I Sumatera Barat dianggapnya sebagai hal yang biasa saja, bukan hal yang menyakitkan.

Meski A.A. Navis dikenal sebagai seniman, di DPRD Tingkat I Sumatera Barat ia tidak memperjuangkan anggaran untuk kesenian secara fanatik. Ia jadi begitu rasional dan pragmatis dalam merencanakan penggunaan dana dalam APBD Sumatera Barat yang terbatas. Ia akan memilih membangun sebuah irigasi atau sebuah sekolah, jika dibanding mengirimkan misi kesenian ke luar negeri dengan biaya yang sama. Ia tidak ingin seniman jadi cengeng dan manja.

Ia lebih suka orang yang memperhatikan dan mengurus orang lain. Karena itu ia lebih menyukai seniman atau cendikiawan yang mau mengurus kepentingan orang lain dan punya solidaritas terhadap orang lain, dibanding kepada seniman atau cendikiawan yang hanya mementingkan diri sendiri atau hanya tahu dengan kepentingan diri sendiri.

Sebagai manusia merdeka, saya lebih suka menempatkan A.A. Navis sebagai budayawan atau intelektual. Keberaniannya menyatakan pendapat dan berbuat menurut keyakinannya, serta peduli terhadap penderitaan dan kesulitan orang banyak merupakan alasan yang kuat mengapa saya menghormati A.A. Navis dan bersedia bekerja sama dengan dia.

Banyak perbedaan pandangan saya dengan A.A. Navis, tetapi umumnya tentang hal-hal yang sifatnya taktis dan menyangkut masalah-masalah cara serta pendekatan dalam pemecahan persoalan. Dalam hal-hal yang mendasar saya banyak menyetujui pandangan dan sikapnya.

Pada tahun 1968 atau sekitar awal 1969 kami terlibat dalam suatu kerja sama yang punya nilai strategis. Kerja sama itu mungkin hasil skenario Rustam Anwar, mungkin bersumber dari pemikiran Miral Manan yang waktu itu merupakan pejabat penting Kantor Gubenur Sumatera Barat.
Kami – yaitu A.A. Navis, Miral Manan, dan saya – terperosok jadi tenaga pengajar atau Dosen Tidak Tetap ASKI (Jurusan Minangkabau) di Padangpanjang.

Waktu itu ASKI baru mulai, masih berada di bawah pengayoman ASKI Surakarta. Yang menjadi Ketua atau Direktur ASKI Padangpanjang adalah Boetanoel Arifin Adam, alumni INS Kayutanam. Ia seorang pemusik, mantan CPM pada masa Perang Kemerdekaan. Ia baru saja pulang ke kampung memimpin ASKI.

Sebelumnya ia bertugas pada Direktorat Jenderal Pariwisata di Jakarta. ASKI belum punya ruang kuliah sendiri, masih menumpang di Panti Budaya. Mahasiswanya dapat dihitung dengan jari. Demikian pula tenaga pengajarnya. Kadang-kadang tenaga pengajar datang lebih dahulu dan menunggu mahasiswa untuk diberi kuliah. Adakalanya yang datang hanya satu atau dua orang.

Kenyataan ini tentu saja membingungkan Boestanoel Arifin Adam. Nyonya Adam Malik dan beberapa orang perantau di Jakarta secara moril memberikan dukungan pada kehadiran ASKI, tetapi dukungan dana dan peralatan sangat terbatas. Rustam Anwar, yang Direktur Percetakan dan Penerbit Nusantara punya kerisauan tentang Boestanoel Arifin Adam.

Ia kuatir dalam kondisi yang minim di ASKI, Boestanoel Arifin Adam bisa saja kembali ke Jakarta dan meninggalkan ASKI Padangpanjang begitu saja.
Teman-teman saya di Padangpanjang menyampaikan hal yang sama.

Boestanoel Arifin Adam memerlukan teman yang bisa diajaknya bicara dalam memelihara dan mengembangkan eksistensi ASKI Padangpanjang serta Kokar (kemudian menjadi SMKI dan pindah ke Padang). Entah siapa yang merencanakan, A.A. Navis diminta memberi kuliah soal Adat Minangkabau, Miral Manan soal Sosiologi Minangkabau, dan saya Pengetahuan Teater.

A.A. Navis dan Miral Manan tidak lama memberi kuliah di ASKI. Tetapi A.A. Navis lebih lama dibanding Miral Manan. Saya terperangkap sampai tahun 1986, sedangkan Boestanoel Arifin Adam lebih dulu pensiun. Barangkali bagi A.A. Navis memberi kuliah di ASKI sedikit banyaknya mendorong penulisan naskah bukunya Alam Terkembang Jadi Guru yang kemudian diterbitkan oleh Grafiti, Jakarta.

Sedangkan bagi saya memberi mata kuliah tentang teater mendorong saya melakukan studi yang lebih intensif tentang Teater Rakyat Minangkabau Randai serta kesenian tradisional lainnya.

Kemudian saya ingin memberi sedikit catatan tentang keterlibatan A.A. Navis dalam kegiatan politik praktis pada proses pencalonan Hasan Basri Durin sebagai Gubernur Sumatera Barat untuk periode 1993-1998 atau untuk kedua kalinya. Tampilnya A.A. Navis bersama Pemimpin Redaksi Singgalang Basril Djabar melakukan lobi di Jakarta “membela” Hasan Basri Durin lebih banyak didorong perlakuan yang tidak fair dari Mendagri Rudini beserta beberapa orang stafnya terhadap Hasan Basri Durin dan DPRD Tingkat I Sumatera Barat.

Beberapa media massa yang terbit di Jakarta juga memperlakukan Hasan Basri Durin dan DPRD Tingkat I Sumatera Barat dengan cara yang brutal. Saya bersama Basril Djabar atau lebih dikenal sebagai “Singgalang Group” bersama A.A. Navis dan teman-teman lain melakukan pemihakan pada Hasan Basri Durin sebab waktu itu ia berada pada posisi diserang dari berbagai pihak.

Sekiranya Hasan Basri Durin diperlakukan secara fair dan tidak diserang secara brutal dari berbagai penjuru, “Singgalang Group” dan termasuk A.A. Navis tidak akan turun tangan dengan cara yang spartan. Sikap “Singgalang Group” bersama A.A. Navis lebih banyak sebagai ekspresi dari perjuangan intelektual.

Saya percaya bahwa dalam usia 70 tahun, H.A.A. Navis semakin tegar sebagai salah seorang Manusia Merdeka di Indonesia, meski banyak juga yang cemas ia akan bersikap oportunis dan melepaskan komitmennya membela kepentingan rakyat kecil dan orang-orang lemah serta tertindas. Kedekatan A.A. Navis dengan Hasan Basri Durin lebih banyak sebagai kedekatan sesama intelektual.

Ia akan tetap merupakan salah satu ruyung pengawal hati nurani dan akal sehat di daerah ini khususnya dan di Indonesia umumnya. Sebagai Manusia Merdeka, A.A. Navis tidak dapat dipaksa. Ia akan melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu secara sukarela, tergantung pada akal sehatnya dan hati nuraninya.

Orang lain tidak perlu cemas A.A. Navis jadi alat penguasa dan kekuasaan, sebab ia sangat tahu diri bahwa ia bukanlah bagian dari kekuasaan dan bukan bawahan seorang penguasa. Kalau suatu saat ia berpihak pada penguasa dan kekuasaan, itu semata-mata berdasarkan pertimbangan akal sehat dan hati nuraninya, bukan karena bujukan iming-iming atau tekanan.
Keberanian A.A. Navis sudah tampak pada usia mudanya, ketika ia bekerja sebagai karyawan pada Kantor Jawatan Kebudayaan Sumatera Tengah “memecat” atasannya dengan cara “memecat” dirinya sendiri sebagai pegawai negeri.

Ali Akbar Navis yang sudah jadi haji akan tetap punya keberanian mengatakan tidak atau ya, tanpa ketakutan seperti ia tidak takut atau ya, tanpa ketakutan seperti ia tidak takut menyatakan pendapatnya pada masa kejayaan Soekarno tentang pemberian gelar BUNDUANG pada Nyonya Hartini Soekarno. Kalau ia masih punya rasa takut, maka perasaan itu pada Allah semata. Barangkali itulah hikmah dari ia menunaikan ibadah haji tahun 1994 ini, menjelang usianya yang ke-70 tahun.

*) Penulis seorang sastrawan / budayawan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.